DENPASAR,radarbali.id – Lahirnya UU Cipta Kerja masih memicu kontroversi. Bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional, anasir yang menamakan diri Serikat Pekerja dari Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Regional Bali melakukan aksi menolak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja, di Denpasar, Rabu (8/3/2023).
UU Cipta Kerja terus mendapatkan penolakan padahal Mahkamah Konstitusi (MK) memberika catatan diberikan dua tahun untuk perbaikan artinya belum sah. Tidak berhenti sampai di sana, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 2/2022 tentang Cipta Kerja 30 Desember 2022. Ini menjadi tanda tanya bagi para pekerja. Apakah terbitnya Perpu ini mengakali keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)?. Omnibus Law Cipta Kerja dianggap menciptakan kesengsaraan dan sistem penjajahan baru bagi buruh.
Diwawancarai terpisah, Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Provinsi Bali, I Wayan Madra heran dengan pemerintah mengeluarkan Perpu, apakah ada yang gawat? Madra mengatakan pihaknya terus menolak Undang-undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja di pusat. Kalau undang-undang itu di jalan ia khawatir akan masa depan generasi selanjutnya. Maka, akan melanggengkan sistem kontrak.
“Kami bekerja keras di pusat kami suarakan. Pusat lah punya kerjaan. Kami memang menolak karena merugikan pekerja. Masalah itu kami pokoknya menolak,” ucapnya. Serikat Pekerja ingin pemerintah melakukan perubahan yang merugikan pihak pekerja terutama soal klaster. “Kami ingin punya masa depan masak kontrak terus,” terangnya.
Hari ini Dinas Ketenagakerjaan Provinsi Bali mengundang pekerja DPD KSPSI Bali, ada juga Apindo data ke acara sosialisasi Kementerian Ketenagakerjaan di Nusa Dua. ” MK minta UU itu  dipelajari kembali tapi kenapa Perpu. Seperti dalam keadaan gawat apasih gawatnya kok perpu,” ucap Pria asal Legian Kelod, Kuta ini. (feb/rid)