PASCA heboh dan viral, matinya burung pipit di areal setra (kuburan) Banjar Sema, Desa Pering, Kecamatan Blahbatuh, Ginyar, Bali, pada Kamis (9/9) langsung menjadi perhatian pihak BKSDA Provinsi Bali.
Bahkan atas fenomena ini, tim BKSDA Bali, Jumat (10/9) langsung turun ke lokasi. Lalu apa hasilnya?
WAYAN WIDYANTARA, Denpasar
SETELAH berkoordinasi dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Gianyar, tim dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bali secara bersama-sama langsung turun ke lapangan.
Tim BKSDA Bali dan Disnakkeswan Gianyat memeriksa lokasi yang terletak di Desa Pering, Kecamatan Blabatuh, Gianyar Bali.
“Kami mengambil sample bangkai burung dan kotoran burungnya untuk dibawa ke Laboratorium Kesehatan Hewan guna mencari tahu penyebab kejadian tersebut,” ujar Kepala Seksi Wilayah II, BKSDA Provinsi Bali Sulistyo Widodo SHut MSc.
Lalu apa hasilnya? Ditanya demikian Sulistyo Widodo menyatakan masih menunggu hasil laboratorium. “Kini tinggal menunggu hasil dari Laboratorium,” tuturnya.
Namun, meski masih menungu hasil lab, menurutnya, ada tiga kemungkinan terkait fenomena yang terjadi di Gianyar.
Pertama, burung-burung tersebut memakan pakan yang terkontamisasi atau tercemar atau mengandung herbisida dan atau pestisida yang sifatnya toxic bagi burung.
“Setelah memakannya, tentu burung tidak langsung mati, karena proses keracunan juga memakan waktu untuk sampai tingkatan mortalitasnya.
Kemungkinan besar saat burung burung tersebut beristirahat malam. Dan paginya bangkai burung berserakan. Jadi bukan akibat lokasinya di makam/setra,” jelasnya.
Kemungkinan kedua adalah tertular penyakit tertentu. Mengingat burung pipit hidupnya berkoloni dalam jumlah besar, maka penularannya akan cepat. Sehingga angka kematiannya juga dalam jumlah besar.
“Bisa juga akibat virus atau penyebab yang harus dibuktikan dengan analisa bangkai dan analisa kotoran burung,” katanya.
Kemungkinan ketiga, Akibat ada perubahan drastis iklim.
“Contoh yang gampang dilihat adalah matinya ikan Koi di kolam terbuka saat hujan pertama kali turun, atau matinya ribuan ikan dalam keramba akibat adanya upwheeling endapan bahan kimia, atau cuaca panas dan kemudian tiba tiba turun hujan,”terang Sulistyo.
Misalnya saja, imbuh Sulistyo, cuaca di Bali sedang panas, pada saat burung burung beristirahat malam, tiba tiba hujan lebat turun, suhu dan kelembaban udara berubah drastis, burung kaget, stress, dan kemudian mati massal.
“Ingat tingkat stress pada satwa sangat potensial menjadi penyebab mortalitas massal,” ujarnya.
Selanjutnya, selain mengambil sampel, tim juga diakui Sulistyo langsung menguburkan seluruh bangkai burung untuk meminimalisir kejadian yang tidak diinginkan.