DENPASAR – Pemberlakuan karantina selama lima hari disinyalir sebagai biang kerok masih kosongnya kunjungan wisman ke Bali. Bahkan, Bali sebagai destinasi wisata internasional dibandingkan dengan destinasi wisata pesaing di negara lain yang tidak memberlakukan karantina.
Hal itu diungkapkan Ketua PHRI Badung, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, Rabu (20/10). Menurut Suryawijaya, sejumlah negara tidak memberlakukan karantina bagi warga asing yang datang. Hal itu menjadi keunggulan sendiri bagi negara-negara tersebut untuk menggaet turis.
“Jadi respons bisnis partner di luar negeri mereka membandingkan dengan negara lain seperti Thailand, Maldives, Turki, Uni Emirate Arab dan juga Sri Lanka. Negara itu tanpa karantina,” kata Suryawijaya.
Untuk itu, lanju Suryawijaya, pemangku kebijakan jangan menganggap bahwa Bali itu satu-satunya destinasi wisata internasional. Masih ada banyak pesaing di negara lain.
“Jangan lupa pariwisata tidak hanya Bali saja. Kita harus belajar dari negara lain,” ucapnya.
Maka dari itu, Suryawijaya mengaku sudah mengusulkan lima negara tersebut dijadikan referensi dalam menggaet turis. Yakni Bali bisa mempertimbangkan untuk menerapkan aturan wisman tanpa karantina seperti lima negara itu.
“Maka dari itu diusulkan, referensi dari lima negara itu bisa dipertimbangkan tanpa karantina diterapkan di Bali,” katanya.
Suryawijaya sebelumnya juga mengungkapkan, cara Indonesia mengantisipasi penularan Covid-19 sebetulnya sudah cukup ketat meski tanpa karantina. Sebelum wisman berangkat ke Bali sudah mengisi EHAC, aplikasi PeduliLindungi dan Love Bali.
Wisman yang akan ke Bali juga harus sudah divaksin lengkap dan tes Swab PCR negatif serta sebelum berangkat mesti pesan hotel dan wajib ada asuransi untuk meng-cover kalau ada Covid-19.
Bahkan, sampai di Bali, wisman juga diperiksa kesehatan melalui prosedur Imigrasi. Selain itu dilakukan tes swab PCR lagi di Bali.
“Kalau dari negaranya negatif (Covid-19) dan di sini (Bali) negatif kenapa mengkarantina orang negatif. Yang dikarantina yang positif walau tanpa gejala ini harus dipahami berarti tidak percaya dengan hasil PCR kita. Dibandingkan wisdom sampai di Bali tidak ada karantina dan negara yang diajak kerja sama adalah yang berisiko rendah, ” tutur Suryawijaya.
Bila tak bisa tanpa karantina, Suryawijaya sudah mengusulkan ada kelonggaran mengenai lama karantina. Misalnya dipangkas waktu karantina dari lima hari menjadi tiga hari. Kemudian, pada hari keempat wisman diperiksa. Kalau hasilnya negatif dipersilakan mengunjungi tempat wisata serta belanja ke tempat oleh-oleh.
“Sehingga semua hidup, mereka belanja. Itu yang saya usulkan mungkin sedang dipertimbangkan, awalnya delapan turun ke lima dan belum ada respons perkembangkan wisatawan khususnya mancanegara,” kata dia.
Jika ternyata pemberlakuan karantina selama lima hari ini tidak ada perkembangan signifikan, dia yakin pasti akan dievaluasi.
“Bila perlu tanpa karantina. Yang penting penerapan protokol kesehatan dengan disiplin yang ketat,” usulnya.