27.6 C
Denpasar
Thursday, March 30, 2023

Semula Untuk Obat, Kini Kembangkan Beras Terlarang Untuk Komersial

MESKI pasar atau konsumsi belum seramai beras putih, namun masyarakat khususnya petani di  Subak Bulung Daya, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Tabanan mulai mengembangkan beras hitam.

Bahkan, meski awalnya beras ini ditanam hanya untuk obat dan konsumsi keluarga, para petani di wilayah ini mulai mengembangkan budidaya beras hitam untuk tujuan komersial. Seperti apa?

 

JULIADI, Tabanan

BAGI sebagian masyarakat Indonesia, banyak menyebut beras hitam (Oryza sativa L.indica) sebagai beras ketan. Tapi bagi masyarakat Tiongkok Kuno, mereka menyebutknya sebagai ‘beras terlarang’.

Disebut ‘beras terlarang’ karena hanya kalangan masyarakat kelas atas yang mengonsumsi beras jenis ini.

Sedangkan di Bali, khususnya di “Gumi Lumbung Padi” atau tepatnya di Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Tabanan, beras ini dulunya hanya dikonsumsi untuk obat keluarga. Meskipun banyak yang menanam, namun petani tidak menanam banyak.

“Awalnya hanya 3 are kami tanam hanya untuk kebutuhan obat keluarga saja. Mengingat kandungan gizi beras hitam yang memiliki kaya kasiat seperti anti kolesterol dan antioksidan,” kata Perbekel Desa Antap Ketut Wastika, Rabu (22/9) kemarin.

Baca Juga:  Dukung Keputusan Menko Marvest Luhut  Walhi Desak Koster Tidak Paksakan Proyek LNG

Namun dengan mulainya peningkatan pemashaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan, perlahan justru banyak masyarakat yang membutuhkan beras hitam untuk dikonsumsi terutama bagi mereka yang sudah lanjut usai.

Mereka mengkomsumsi untuk mengurangi makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi.

“Sehingga sampai dengan sekarang saya terus budidaya padi hitam dengan luas areal tanam saat ini sekitar 37,5 are,” jelasnya.

Wastika mengaku sudah 8 tahun lebih dirinya dan keluarga mengembangkan padi hitam. Dengan hasil panen dari padi hitam, selain untuk konsumsi obat di keluarga, juga dikomersilkan.

Penjualan biasanya lebih dominan dari kalangan orang tua. Dengan pemasaran dilakukan di toko-toko modern dan online.

“Sejatinya kenapa tetap ada beras hitam ini, karena sudah ada pelanggan tetap yang membeli setiap kali panen. Kami jual perkilogram seharga Rp 20 ribu,” ungkap Wastika.

Lebih lanjut, Wastika menjelaskan padi hitam yang ia kembangkan tidak semua dilakukan budidaya secara organik.

Baca Juga:  Bantu Korban Corona, Pembagian Beras oleh Desa Adat Terus Berlanjut

Melainkan perlakukan dilakukan secara non organic dengan persentase 50 % organik dan 50 % lainnya non organik.

Sebelum pandemi Covid-19 sejatinya perlakukan dari budidaya padi hitam sempat total pihaknya lakukan secara organik.

“Tetapi karena keinginan pasar yang banyak khususnya dari wisatawan asing kami lakukan perlakuan campura antara organik dan non organic,”ungkapnya.

 

Bahkan soal hasil atau produktivitas jenis varietas ini, kata Wastika, saat ini dari total 37,5 are lahan,  dirinya mampu memanen padi hitam mencapai 2,9 ton setiap kali panen,” terangnya.

 

Menurut Wastika padi hitam sejatinya sama cara proses penanaman dengan beras biasanya. Yang membedakan kata dia, hanya waktu panen yang membutuhkan waktu atau masa yang sedikit lebih lama dari beras biasa atau beras putih.

“Mengenai bibit padi hitam kami dulunya diberikan langsung oleh Dinas Pertanian Tabanan pada 8 tahun yang lalu. Kemudian itu kami kembangbiakkan hingga saat ini. Sehingga tak pernah kami kekurangan bibit padi beras hitam,” tukasnya. 



MESKI pasar atau konsumsi belum seramai beras putih, namun masyarakat khususnya petani di  Subak Bulung Daya, Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Tabanan mulai mengembangkan beras hitam.

Bahkan, meski awalnya beras ini ditanam hanya untuk obat dan konsumsi keluarga, para petani di wilayah ini mulai mengembangkan budidaya beras hitam untuk tujuan komersial. Seperti apa?

 

JULIADI, Tabanan

BAGI sebagian masyarakat Indonesia, banyak menyebut beras hitam (Oryza sativa L.indica) sebagai beras ketan. Tapi bagi masyarakat Tiongkok Kuno, mereka menyebutknya sebagai ‘beras terlarang’.

Disebut ‘beras terlarang’ karena hanya kalangan masyarakat kelas atas yang mengonsumsi beras jenis ini.

Sedangkan di Bali, khususnya di “Gumi Lumbung Padi” atau tepatnya di Desa Antap, Kecamatan Selemadeg, Tabanan, beras ini dulunya hanya dikonsumsi untuk obat keluarga. Meskipun banyak yang menanam, namun petani tidak menanam banyak.

“Awalnya hanya 3 are kami tanam hanya untuk kebutuhan obat keluarga saja. Mengingat kandungan gizi beras hitam yang memiliki kaya kasiat seperti anti kolesterol dan antioksidan,” kata Perbekel Desa Antap Ketut Wastika, Rabu (22/9) kemarin.

Baca Juga:  WASPADA! Kasus DBD Masih Jadi Ancaman

Namun dengan mulainya peningkatan pemashaman masyarakat tentang pentingnya kesehatan, perlahan justru banyak masyarakat yang membutuhkan beras hitam untuk dikonsumsi terutama bagi mereka yang sudah lanjut usai.

Mereka mengkomsumsi untuk mengurangi makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi.

“Sehingga sampai dengan sekarang saya terus budidaya padi hitam dengan luas areal tanam saat ini sekitar 37,5 are,” jelasnya.

Wastika mengaku sudah 8 tahun lebih dirinya dan keluarga mengembangkan padi hitam. Dengan hasil panen dari padi hitam, selain untuk konsumsi obat di keluarga, juga dikomersilkan.

Penjualan biasanya lebih dominan dari kalangan orang tua. Dengan pemasaran dilakukan di toko-toko modern dan online.

“Sejatinya kenapa tetap ada beras hitam ini, karena sudah ada pelanggan tetap yang membeli setiap kali panen. Kami jual perkilogram seharga Rp 20 ribu,” ungkap Wastika.

Lebih lanjut, Wastika menjelaskan padi hitam yang ia kembangkan tidak semua dilakukan budidaya secara organik.

Baca Juga:  WALHI Bali Tagih Salinan Ranperda RZWP3K ke Gubernur Koster

Melainkan perlakukan dilakukan secara non organic dengan persentase 50 % organik dan 50 % lainnya non organik.

Sebelum pandemi Covid-19 sejatinya perlakukan dari budidaya padi hitam sempat total pihaknya lakukan secara organik.

“Tetapi karena keinginan pasar yang banyak khususnya dari wisatawan asing kami lakukan perlakuan campura antara organik dan non organic,”ungkapnya.

 

Bahkan soal hasil atau produktivitas jenis varietas ini, kata Wastika, saat ini dari total 37,5 are lahan,  dirinya mampu memanen padi hitam mencapai 2,9 ton setiap kali panen,” terangnya.

 

Menurut Wastika padi hitam sejatinya sama cara proses penanaman dengan beras biasanya. Yang membedakan kata dia, hanya waktu panen yang membutuhkan waktu atau masa yang sedikit lebih lama dari beras biasa atau beras putih.

“Mengenai bibit padi hitam kami dulunya diberikan langsung oleh Dinas Pertanian Tabanan pada 8 tahun yang lalu. Kemudian itu kami kembangbiakkan hingga saat ini. Sehingga tak pernah kami kekurangan bibit padi beras hitam,” tukasnya. 


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru