26.5 C
Denpasar
Thursday, June 1, 2023

Sinergitas Regulasi Pusat dan Daerah Jadi Kunci Pencapaian Sebaran EBT

GERAKAN dan kampanye penurunan pemanasan global terus dilakukan sejumlah negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia.

 

Meski bukan sebagai negara pelopor gerakan revolusi hijau, namun pemerintah RI terus mendorong untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam negeri, khususnya berkaitan dengan target bauran energi terbarukan di tahun 2025 sebesar 23 %.

 

Bahkan, pengembangan EBT tak hanya terjadi di pusat, sejumlah regulasi EBT juga telah disiapkan di sejumlah daerah di Indonesia, seperti salah satunya di Provinsi Bali.

 

Lalu seperti apa keseriusan dan komitmen Bali untuk berkontribusi dalam dekarbonisasi sistem energi ini?

 

 

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

 

 

SEJAK lama pemerintah daerah sangat gencar mewacanakan agar Bali menjadi pulau energi bersih. 

 

 

Sayangnya, wacana itu terkadang belum sesuai dengan realita dan bahkan terkesan hanya jadi pemanis bibir.

 

 

Salah satu buktinya adalah kegagalan proyek energi bayu atau Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan Puncak Mundi, Kecamatan Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. 

 

 

Di wilayah perbukitan dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (Mdpl) di Pulau Nusa Penida ini menjadi salah satu saksi sekaligus bukti pengingat gagalnya proyek energi bersih. 

 

 

Ada sebanyak 9 (sembilan) kincir angin setinggi 30 meter tidak lagi menghembuskan energi walau masih berdiri tegak dengan kondisi kipas keropos.

 

 

Digadang-gadang mampu memproduksi energi sekitar 700 KW, sembilan PLTB  ini diresmikan November 2007 silam atau tepatnya sebulan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim.

 

 

Umurnya sangat pendek dan hanya seumur jagung. Bahkan kurang dari dua tahun kemudian, pembangkit tenaga bayu ini berhenti total sampai saat ini karena alasan tak ada suku cadang. 

Baca Juga:  Asal-Usul Penggelapan Rp40 M yang Menjerat Tiga Pejabat Pelindo III

 

 

Lalu masihkah pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan Bali menjadi pulau energi bersih? Seberapa seriuskah pemerintah benar-benar ingin mewujudkan dekarbonisasi sistem energi di Bali?

 

 

Terkait hal itu, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali Anak Agung Ngurah (AAN) Adhi Ardhana, menyatakan jika Pulau Bali tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti di pulau-pulau lain di Indonesia.

 

 

Bali imbuh AAN Adhi Ardhana juga tidak memiliki sumber energi berbasis fosil atau energi tidak terbarukan seperti minyak dan batu bara.

 

 

Namun, Bali memiliki sumber energi bersih berupa Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti sinar matahari, aliran air, air terjun, angin, panas bumi, bioenergi, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan hydrogen yang sangat melimpah sebagai potensi energi daerah.

 

 

“Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan dan inventarisasi dengan cermat meliputi potensi, peluang, dan kendala untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi daerah yang berwawasan kedepan yaitu menuju Bali Mandiri Energi dengan Energi Bersih,”terang AAN Adhi Ardhana. 

 

 

AAN Adhi Ardhana menilai, Bali pada pemerintahan Gubernur Bali Wayan Koster diakui memiliki perhatian yang baik dalam mengantisipasi perkembangan keilmuan energi ini.

 

 

Bahkan tambahnya, pada tahun-tahun ke depan, arah perkembangan terhadap energi hijau ramah lingkungan akan terus ditingkatkan. Sedangkan pasokan dan penggunaan energi fosil (bahan bakar mineral yang mengandung hidrokarbon, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam) secara perlahan akan diturunkan.

 

 

Hal itu, imbuh AAN Adhi Ardhana sebagaimana termuat dalam Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050. 

Baca Juga:  Gelombang Laut Tinggi Nelayan Tabanan Tak Berani Melaut

 

 

“PERDA Nomor 9 Tahun 2020 Provinsi Bali adalah PERDA yang memuat rencana penyiapan energi sebagai penunjang kehidupan masyarakat secara berkelanjutan 2020-2050.

 

 

Dalam PERDA jelas menargetkan tahun 2025 sebaran Energi Baru Terbarukan di Bali harus tercapai 11% dari sejak PERDA ditetapkan yang ketika itu masih sangat kecil dengan hanya sebesar 0.27%,”terang AAN Adhi Ardhana yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan Provinsi Bali ini.

 

 

Untuk itu, guna mewujudkan capaian target sebaran Energi Baru Terbarukan pada 2025, kata AAN Adhi Ardhana, dibutuhkan sinergitas aturan dari pusat hingga daerah.

 

 

“Meskipun banyak tantangan dan tidak mudah mendorong hal ini. Kuncinya butuh sinergitas aturan (regulasi) antara pusat dengan daerah untuk pencapaian target (Sebaran EBT Tahun 2025) itu. Karena apapun kebijakan yang ditargetkan, inplementasinya ada di daerah,”ujar AAN Adhi Ardhana.

 

 

AAN Adhi Ardhana mencontohkan, seperti halnya pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

 

Dari pasal-pasal yang diuji, 2 (dua) pasal akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

 

 

Kedua Pasal itu, yakni Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1).

 

 

“Menyatakan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” demikian bunyi salinan putusan MK.

 

 

“Artinya penyedia ketenagalistrikan untuk kepentingan umum hanya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Nasional (BUMN). Sedangkan penyedia dari swasta, koperasi, swadaya masyarakat dibatalkan MK,”terang AAN Adhi Ardhana.



GERAKAN dan kampanye penurunan pemanasan global terus dilakukan sejumlah negara di dunia. Tidak terkecuali Indonesia.

 

Meski bukan sebagai negara pelopor gerakan revolusi hijau, namun pemerintah RI terus mendorong untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) dalam negeri, khususnya berkaitan dengan target bauran energi terbarukan di tahun 2025 sebesar 23 %.

 

Bahkan, pengembangan EBT tak hanya terjadi di pusat, sejumlah regulasi EBT juga telah disiapkan di sejumlah daerah di Indonesia, seperti salah satunya di Provinsi Bali.

 

Lalu seperti apa keseriusan dan komitmen Bali untuk berkontribusi dalam dekarbonisasi sistem energi ini?

 

 

DIDIK DWI PRAPTONO, Denpasar

 

 

SEJAK lama pemerintah daerah sangat gencar mewacanakan agar Bali menjadi pulau energi bersih. 

 

 

Sayangnya, wacana itu terkadang belum sesuai dengan realita dan bahkan terkesan hanya jadi pemanis bibir.

 

 

Salah satu buktinya adalah kegagalan proyek energi bayu atau Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di kawasan Puncak Mundi, Kecamatan Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. 

 

 

Di wilayah perbukitan dengan ketinggian 500 meter di atas permukaan laut (Mdpl) di Pulau Nusa Penida ini menjadi salah satu saksi sekaligus bukti pengingat gagalnya proyek energi bersih. 

 

 

Ada sebanyak 9 (sembilan) kincir angin setinggi 30 meter tidak lagi menghembuskan energi walau masih berdiri tegak dengan kondisi kipas keropos.

 

 

Digadang-gadang mampu memproduksi energi sekitar 700 KW, sembilan PLTB  ini diresmikan November 2007 silam atau tepatnya sebulan sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim.

 

 

Umurnya sangat pendek dan hanya seumur jagung. Bahkan kurang dari dua tahun kemudian, pembangkit tenaga bayu ini berhenti total sampai saat ini karena alasan tak ada suku cadang. 

Baca Juga:  Agen Kapal Pesiar Penipu Belasan Calon Pekerja di Bali Ternyata Bodong

 

 

Lalu masihkah pemerintah berkomitmen untuk mewujudkan Bali menjadi pulau energi bersih? Seberapa seriuskah pemerintah benar-benar ingin mewujudkan dekarbonisasi sistem energi di Bali?

 

 

Terkait hal itu, Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali Anak Agung Ngurah (AAN) Adhi Ardhana, menyatakan jika Pulau Bali tidak memiliki sumber daya alam yang melimpah seperti di pulau-pulau lain di Indonesia.

 

 

Bali imbuh AAN Adhi Ardhana juga tidak memiliki sumber energi berbasis fosil atau energi tidak terbarukan seperti minyak dan batu bara.

 

 

Namun, Bali memiliki sumber energi bersih berupa Energi Baru Terbarukan (EBT) seperti sinar matahari, aliran air, air terjun, angin, panas bumi, bioenergi, gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan hydrogen yang sangat melimpah sebagai potensi energi daerah.

 

 

“Oleh karena itu, perlu dilakukan pemetaan dan inventarisasi dengan cermat meliputi potensi, peluang, dan kendala untuk mengembangkan dan memanfaatkan energi daerah yang berwawasan kedepan yaitu menuju Bali Mandiri Energi dengan Energi Bersih,”terang AAN Adhi Ardhana. 

 

 

AAN Adhi Ardhana menilai, Bali pada pemerintahan Gubernur Bali Wayan Koster diakui memiliki perhatian yang baik dalam mengantisipasi perkembangan keilmuan energi ini.

 

 

Bahkan tambahnya, pada tahun-tahun ke depan, arah perkembangan terhadap energi hijau ramah lingkungan akan terus ditingkatkan. Sedangkan pasokan dan penggunaan energi fosil (bahan bakar mineral yang mengandung hidrokarbon, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam) secara perlahan akan diturunkan.

 

 

Hal itu, imbuh AAN Adhi Ardhana sebagaimana termuat dalam Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED) Provinsi Bali Tahun 2020-2050. 

Baca Juga:  Gelombang Laut Tinggi Nelayan Tabanan Tak Berani Melaut

 

 

“PERDA Nomor 9 Tahun 2020 Provinsi Bali adalah PERDA yang memuat rencana penyiapan energi sebagai penunjang kehidupan masyarakat secara berkelanjutan 2020-2050.

 

 

Dalam PERDA jelas menargetkan tahun 2025 sebaran Energi Baru Terbarukan di Bali harus tercapai 11% dari sejak PERDA ditetapkan yang ketika itu masih sangat kecil dengan hanya sebesar 0.27%,”terang AAN Adhi Ardhana yang juga anggota Fraksi PDI Perjuangan Provinsi Bali ini.

 

 

Untuk itu, guna mewujudkan capaian target sebaran Energi Baru Terbarukan pada 2025, kata AAN Adhi Ardhana, dibutuhkan sinergitas aturan dari pusat hingga daerah.

 

 

“Meskipun banyak tantangan dan tidak mudah mendorong hal ini. Kuncinya butuh sinergitas aturan (regulasi) antara pusat dengan daerah untuk pencapaian target (Sebaran EBT Tahun 2025) itu. Karena apapun kebijakan yang ditargetkan, inplementasinya ada di daerah,”ujar AAN Adhi Ardhana.

 

 

AAN Adhi Ardhana mencontohkan, seperti halnya pada Undang Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi.

 

Dari pasal-pasal yang diuji, 2 (dua) pasal akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) karena bertentangan dengan Undang Undang Dasar (UUD) 1945.

 

 

Kedua Pasal itu, yakni Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1).

 

 

“Menyatakan Pasal 10 ayat (2) dan Pasal 11 ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052) bertentangan dengan Undang-Undang  Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,” demikian bunyi salinan putusan MK.

 

 

“Artinya penyedia ketenagalistrikan untuk kepentingan umum hanya dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Nasional (BUMN). Sedangkan penyedia dari swasta, koperasi, swadaya masyarakat dibatalkan MK,”terang AAN Adhi Ardhana.


Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru