SINGARAJA– Para pengusaha tahu dan tempe di Kabupaten Buleleng merana. Penyebabnya harga kedelai terus melonjak.
Para pengusaha tak bisa menaikkan harga karena khawatir pelanggan kabur. Satu-satunya cara yang diambil adalah mengurangi produksi.
Kenaikan harga itu terjadi sejak sebelum hari raya Idul Fitri.
Awalnya harga kedelai yang hanya berkisar Rp 7.800 per kilogram. Dalam kurun waktu beberapa hari saja, harga melonjak hingga angka Rp 10.700 per kilogram.
“Waktu itu setiap hari naik. Malah pernah sehari itu naik tiga kali. Paginya harga Rp 8.000, siangnya Rp 8.200, sorenya Rp 8.800. Besoknya naik lagi jadi Rp 9.000,” ungkap Ramdani, salah seorang pengusaha tahu tempe di Lingkungan Taman Sari, Kelurahan Kampung Baru.
Dampaknya para pengusaha harus mengurangi tingkat produksi mereka.
Ramdani misalnya, dari awalnya per hari ia mampu menghabiskan 50 kilogram. Saat ini, ia hanya berani menggunakan 40-45 kilogram kedelai per harinya.
“Ya mau bagaimana lagi. Kami punya langganan jelas tidak mau tahu. Apalagi kondisi seperti sekarang. Harga naik, bisa-bisa nggak ada orang yang mau beli,” ujarnya.
Hal serupa diakui Nur Arsani. Ia bahkan harus mengurangi produksi habis-habisan. Dulunya ia menghabiskan hingga satu kuintal kedelai per hari. Namun kini ia hanya menggunakan 30 kilogram kedelai saja untuk memproduksi tahu maupun tempe.
“Tempe juga beratnya dikurangi. Biasanya satu papan itu kan 1,1 kilogram. Sekarang dikurangi jadi sekilo saja. Mau dinaikkan, nanti nggak ada yang beli. Sekarang saja nggak banyak yang pesan, yang beli juga sepi,” keluhnya.
Kenaikan harga kedelai itu diduga dipicu karena suplai kedelai impor yang seret. Pengusaha pun enggan beralih ke kedelai lokal.
Sebab kualitasnya tak terlalu bagus. Selain itu pengusaha juga butuh waktu membersihkan kedelai sebelum berproduksi.
Sehingga menambah beban biaya. Kini pengusaha hanya bisa pasrah, menanti turunnya harga kedelai.