SEMANGAT untuk mewujudkan Bali menjadi pulau energi hijau dan menjadikan Pulau Bali sebagai Center of Excellence (pusat keunggulan) terus mendapat dukungan dari masyarakat.
Terbukti, bagi sebagian masyarakat Bali, kini sudah mulai banyak yang memanfaatkan Energi Baru Terbarukan (EBT). Salah satunya adalah dengan pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap atau Panel Surya. Seperti apa?
I WAYAN WIDYANTARA, Kuta
PEMBANGKIT Listrik Tenaga Surya (PLTS) atap atau biasa disebut panel surya bukanlah suatu kata asing ditelinga warga di Bali.
Hasil survey yang dilakukan Lembaga IESR pun menyebut, 61,6 persen warga di Bali pernah mendengar konsep panel surya ini.
Salah satu warga Bali yang juga mendengar hal ini adalah I Gde Aryastina atau lebih dikenal dengan nama JRX atau Jerinx.
Drummer band Superman Is Dead (SID) ini mengaku sudah mendengar konsep panel surya mulai pada tahun 2009 lalu.
Ditemui khusus radarbali.id, JRX mengungkap bahwa dirinya mulai menggunakan panel surya untuk usahanya dalam bidang akomodasi pariwisata.
Yakni bernama Bong Hostel, di Pulau Nusa Lembongan, Kabupaten Klungkung, Bali.
JRX tidak sendiri. Bong Hostel yang memiliki luas 15 are dia bangun dengan Adi, pemain bass dari Band The Hydrant.
JRX juga meminta bantuan dari dua arsitek Archimetriz, I Putu Suantara Putra alias Klik dan Ni Putu Diana Surya untuk mendesain hostelnya tersebut.
Agung Putra Dyana pun ditunjuk untuk membantu instalasi solar panel ini.
Sebuah kolaborasi apik yang patut diacungi jempol. Bagaimana tidak, sebanyak 36 lembar panel surya mereka pasang di area hostel yang memungkinkan untuk memanen energi surya.
Bong Hostel mulai beroperasi pada tahun 2018 lalu ini pun kemudian memanen energi surya secara optimal setiap hari mulai dari pukul 10.00 Wita – 14.00 Wita.
Dalam catatan yang ada, potensi daya matahari yang diserap bisa 1000 watt/meter persegi/jam.
Hal ini ternyata tergantung pada efisiensi solar cells, sehingga baru mampu menjadikan daya listrik sekitar 150 hingga 200 watt/meter persegi/jam.
“Konsep dari awal kami membangun Bong Hostel ini memang ramah lingkungan. Kami ingin meminimalisir dampak negatif untuk lingkungan,” kata Jerink saat ditemui pada Selasa (31/8).
Jerink sendiri sadar bahwa teknologi surya panel sebagai energi di Indonesia belum murah. Untuk itu, ia mengaku belum mampu untuk menerapkannya seratus persen ditempatnya tersebut.
“Kami mampunya baru segitu. Kalau pandemi sudah menjadi endemi dan pariwisata dibuka, baru kami pelan-pelan membuatnya jadi seratus persen,” ujar Jerink.
Bahkan saat disinggung mengenai apakah solar panel ini memiliki masa depan untuk diterapkan, penggemar teori konspirasi ini mengatakan teknologi ini dapat menjadi besar dan tidak hanya menjadi trend saja, tapi bisa saja menjadi kewajiban warga untuk beralih ke solar panel.
“Saya lihat secara geopolitik seperti itu kedepannya,” sebutnya.
Yang menarik, kata Jerink, penggunaan solar panel ini dapat juga membuka lebar pintu pariwisata di Bali.
Sebab, di luar negeri, Jerink mengamati ada kepedulian besar terhadap lingkungan yang ditunjukkan oleh para generasi milenial hingga generasi Z.
“Jadi, secara trend muda atau turis-turis muda, kalau dia tahu Bali menggunakan solar panel, mungkin akan menarik mereka untuk datang ke Bali.
Dengan begitu, saya sih berharap semoga limbah pariwisata bisa berkurang, solar panel harganya terjangkau dan masyarakat bisa terbantu mengurangi beban mereka untuk bayar listrik,” pungkasnya.
Disisi lain, konsep panel surya di Bali sendiri sudah cukup lama ingin dikembangkan di Bali.
Bahkan dari tahun 1990 an, wacana ini sudah mulai berada di meja-meja pengambil kebijakan penting di Bali. Namun, selalu gagal dengan sejumlah kendala.
Hal itu terlihat dari wawancara radarbali.id bersama dengan sosok pria inovatif asal Desa Geluntung, Kecamatan Marga, Tabanan, Agung Putra Dhyana. Gung Kayon, begitu ia dikenal bahkan sudah mulai “bermain” dengan panel Surya sejak 27 tahun lalu.
Bila mendatangi rumah Gung Kayon, maka kita akan terbayang bagaimana kita memiliki rumah masa depan yang menggunakan EBT berupa panel surya.
Hampir setiap sudut rumahnya dialiri oleh listrik yang menggunakan panel surya. Tujuannya sederhana.
Apa yang dilakukannya dapat menjadi contoh konkrit untuk masyarakat sekitar dalam menggunakan EBT yang ramah lingkungan.
Ketika Gung Kayon “ditodong” dengan pertanyaan tanpa basa-basi terlebih dahulu, apakah seluruh akomodasi maupun destinasi pariwisata di Bali dapat menggunakan panel surya sebagai pembangkit listrik utama usahanya? “Memungkinkan jika mau,” jawabnya dengan singkat pada Selasa (31/8/2021).
Gung Kayon melanjutkan, persoalan terbesar dalam penerapan panel surya di Bali adalah soal pembiayaan alat di awal. Semestinya, dengan perusahaan yang dianggap sudah makmur secara ekonomi, hal ini tidak jadi permasalahan.
“Apalagi, bila kita lihat kebelakang, pemerintah kita sudah cukup konsen dalam membuat sebuah kebijakan yang besar terkait penerapan EBT di Indonesia. Secara nasional itu targetnya 23 persen dan di Bali itu 11 persen penggunaan EBT,” sebutnya.
Nah, 11 persen yang dingin diwujudkan di Bali ini seharusnya bisa tercapai dengan mudah dua tahun belakangan ini.
Tapi apa daya, perekonomian di Bali sedang terpuruk karena pandemi Covid 19. Sehingga, dengan situasi seperti ini membuat penerapan EBT di Bali menjadi tidak prioritas lagi.
“Pemerintah di Bali sudah mendapatkan mandat untuk itu (penerapan EBT). Itu kalau kita lihat dari kebijakan yang ada sekarang juga. Namun semua prioritas itu sudah digeser dahulu karena kondisi pandemi. Tidak lagi menjadi realistis saat situasi pandemi seperti ini,” ungkap Gung Kayon.
Namun hal itu bukan berarti memupus harapan negeri ini untuk mencapai bangkit dengan menerapkan energi bersih. Gung Kayon justru melihat peluang itu masih tetap ada. Caranya adalah membawanya ke ruang lebih kecil.
Misalnya, 23 persen dari target nasional atau 11 persen untuk target di Bali bisa dilakukan dengan konsep individual.
Bukan lagi berharap pada perusahaan besar dengan kondisi ekonomi yang porak-poranda seperti sekarang ini.
Ia membayangkan, individu di rumah tangga bisa menerapkan EBT seperti panel surya ini dengan dimulai dari hal yang kecil dan melekat dalam kehidupan sehari-harinya. Misalnya adalah menggunakan panel surya untuk mengisi baterai handphone ataupun laptop.
“Kalau saja sebelas persen panel surya ini mulai kita gunakan dengan hal yang kecil di rumah tangga, maka bila dikali banyak warga, nantinya akan terpenuhi juga sebelas persen sebagaimana target pemerintah kita,” sarannya.
Harapan besar inilah yang diyakini pria yang pada tahun 2016 lalu menerima penghargaan Energi Prakarsa Perorangan dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini diyakinkan bisa terwujud.
“Harapan besar saya, tetap berusaha dan ketika kondisi sudah menjadi normal, kita sudah melakukan bersih-bersih energi. Jadikan ini sesuatu yang penting. Percaya dengan apa yang kita percaya, sehingga mimpi ini bisa terwujud,” tutupnya.