SINGARAJA– Gegara permintaan warga Desa Adat Banyuasri tak dipenuhi Majelis Desa Adat (MDA) Buleleng, warga kembali demo yang kedua kalinya, Kamis (2/3) kemarin. Warga mendesak MDA Bali datang ke Desa Adat Banyuasri menelaah duduk persoalan. Tapi sepekan berlalu, MDA tak kunjung turun ke Banyuasri untuk menuntaskan sengketa yang terjadi.
Koordinator Aksi, I Made Agus Parthama mengatakan, tuntutan massa masih serupa seperti pekan lalu. Yakni, meminta agar MDA Bali datang ke Desa Adat Banyuasri untuk mendapatkan informasi yang valid dan dan objektif. Mereka menilai proses wicara yang dilakukan di MDA Bali beberapa bulan lalu, bersifat sepihak karena MDA Bali tak pernah turun ke Banyuasri untuk mencari tahu sumber permasalahan yang terjadi.
“Yang dipermasalahkan itu semuanya adalah keputusan paruman desa. Sedangkan paruman desa adalah lembaga tertinggi pengambil keputusan di desa adat yang tidak bisa dicampuri atau diintervensi oleh siapa pun termasuk MDA,” kata Agus.
Sementara itu, Bendesa Madya MDA Buleleng Dewa Putu Budarsa saat dikonfirmasi mengatakan, masalah yang dikeluhkan krama memang SK Sabha Kerta MDA Bali. Budarsa menyebut permasalahan yang ada di Banyuasri sebenarnya sempat dimediasi oleh MDA Kecamatan Buleleng, namun mentok. Tiba-tiba masalah itu telah dilanjutkan ke MDA Bali tanpa sepengetahuan dirinya sebagai bendesa madya.
Budarsa mengaku telah menyampaikan permintaan warga kepada MDA Bali. Namun belum ada jawaban dari MDA Bali, baik itu lewat pesan WhatsApp, apalagi lewat jawaban tertulis. Ia berjanji akan datang langsung ke MDA Bali menyampaikan masalah tersebut, agar tidak berlarut-larut.
“Lek atine (malu saya) sampai dua kali ada demo. Seolah-olah saya pribadi maupun sebagai bendesa, tidak peduli dengan permasalahan krama. Sebenarnya MDA Buleleng tidak ada tendensi apa-apa kepada masyarakat. Saya mohon agar krama tidak unjuk rasa lagi seperti sekarang, lek atin tyange kalau sampai tiga kali didemo,” katanya.
Lebih lanjut Budarsa mengatakan, MDA sebenarnya tak bisa mengintervensi apalagi sampai membatalkan hasil paruman. Karena setiap desa adat punya otonomi sendiri. Bahkan sejak dulu telah ditegaskan bahwa keputusan paruman desa merupakan keputusan tertinggi yang dilaksanakan oleh prajuru dan kelian adat.“Sudah dari kita diajarakan bahwa paruman itu keputusan tertinggi, keputusan itu dilaksanakan prajuru dan krama. Soal keputusan Sabha Kerta, kami belum bisa jelaskan lebih jauh. Karena kami di kabupaten juga tidak bisa intervensi ke provinsi,” ujarnya.
Sekadar diketahui, pekan lalu krama Desa Adat Banyuasri menggeruduk MDA Buleleng. Aksi itu bermula dari proses ngadegang kelian desa adat di Desa Pakraman Banyuasri. Dalam paruman disepakati bahwa Nyoman Mangku Widiasa ditunjuk sebagai kelian desa adat.
Belakangan ada sejumlah krama yang memprotes hasil tersebut. Lewat paruman, sebanyak sebelas orang krama diberi sanksi kasepekang. Keputusan kasepekang disebut bukan semata-mata karena protes yang dilayangkan warga itu, tapi juga memperhitungkan riwayat krama tersebut saat berkegiatan di desa adat.
Tak terima dengan sanksi itu, belasan krama tersebut melawan dengan mengadu ke MDA. Belakangan terbit SK Sabha Kerta MDA Bali yang menganulir hasil paruman ngadegang kelian desa adat serta menganulir sanksi kasepekang yang dijatuhkan pada sebelas krama. Hal itu akhirnya membuat krama resah. (eps)