Pembebasan lahan proyek shortcut yang kurang adil bagi para pemilik lahan sempat diadukan ke Gubernur Bali Wayan Koster. Para pemilik lahan beraudiensi Koster. Kemudian dijanjikan dapat hibah. Namun, sampai saat ini masih zonk.
EKA PRASETYA, Singaraja
PROYEK pembangunan shortcut Mengwitani-Singaraja memang dilakukan secara bertahap. Saat ini sudah terbangun titik 3, 4, 5, dan 6 yang sudah dibangun pada 2019. Kemudian, peletakan batu pertama sudah dilakukan untuk titik 7A, 7B, 7C, dan 8 pada Kamis (2/9/2021).
Menurut rencana, proyek shortcut akan dilanjutkan untuk titik 9 dan 10 pada tahun 2022-2023, namun proses tendernya akan dilakukan pada 2021 ini. Proses pembebasan lahan untuk titik 9 dan 10 yang berada di sekitar Desa Pegayaman, Sukasada ini juga sudah selesai.
Namun, selesainya proses pembebasan lahan, terutama ganti rugi kepada pemilik lahan bukan berarti masalah selesai. Masih menyisakan masalah lantaran ganti rugi yang kurang adil bagi para pemilik lahan.
Sebelumnya salah satu pemilik lahan, Fatahillah, 42, warga Dusun Kubu Tumpang, Desa Pegayaman mengaku tak mendapat ganti rugi yang semestinya. Sebayak 24 tegakan pohon cengkih, luput dari ganti rugi. Ia hanya mendapat ganti rugi Rp1,4 juta untuk 4 tegakan pohon cengkih. Praktis Fatahillah merugi sebanyak Rp 33,6 juta.
“Itu baru cengkih saja. Di atas lahan saya masih ada jati, kakao, durian, salak. Tapi hitungannya meleset semua,” keluh Fatahillah saat ditemui di rumahnya pada Kamis (9/2).
Segala upayanya untuk memprotes pembebasan lahan yang tak berkeadilan ini mentok. Ia tak mendapat apa-apa lagi dari pembebasan lahan tersebut.
Hal serupa dialami oleh Syafrudin, 33. Nilai bangunan rumah miliknya hanya dihargai sekitar Rp 50 juta. Setelah melayangkan keluhan, nilai appraisal justru turun menjadi Rp 42,36 juta. Itu baru dirinya saja.
Syafrudin menyebut warga lain juga mengalami hal serupa. Setidaknya ada 1.000 batang pohon cengkih dan puluhan batang pohon jati milik warga yang tak masuk dalam hitungan tim appraisal.
Saat musyawarah ganti rugi dilaksanakan di Gedung Kesenian Gde Manik pada Desember 2019 lalu, ia mengaku sudah mengajukan keberatan. Hal itu telah disampaikan secara tertulis dan disampaikan pada pihak Badan Pertanahan Nasional. Warga mengklaim keberatan mereka tak pernah ditindaklanjuti.
Sayangnya warga ketika itu tak pernah diberitahu bahwa mereka memiliki hak mengajukan keberatan pada pengadilan negeri, sesuai dengan pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pembebasan Lahan. Mereka baru tahu hak tersebut, setelah masa keberatan berakhir.
“Kami orang desa kan tidak tahu ada prosedur begitu. Akhirnya posisi kami serba kalah. Mau bertahan, nanti dituding tidak mendukung program pemerintah. Mau menerima, tapi nominalnya tidak wajar,” keluhnya.
Selain itu warga juga mengaku kerap menerima intimidasi. Syafrudin menyebut, awalnya ada 52 kepala keluarga yang memilih bertahan melakukan perlawanan. Kini hanya tinggal 16 kepala keluarga saja yang bertahan.
“Tekanan itu banyak sekali. Ada yang bilang kalau ngotot tidak mau terima, uangnya akan hangus. Yang paling membuat masyarakat takut itu kan, sudah uangnya hangus, nanti akan digusur. Uang hilang, tanah hilang. Begitu intimidasi yang kami rasakan,” katanya lagi.
Lantas bagaimana solusinya? Syafrudin mengaku sempat melakukan audensi pada Gubernur Bali Wayan Koster. Saat itu warga dijanjikan diberikan bantuan berupa hibah.
Proposal hibah akan difasilitasi Anggota DPRD Buleleng H. Mulyadi Putra. Nilai hibahnya pun fantastis, mencapai Rp 2,5 miliar. Konon nilai itu adalah nominal kerugian yang dialami akibat karut marut proses pembebasan lahan.
Menurut Syafrudin warga telah membentuk kelompok tani dan telah mengajukan proposal. Namun, sampai saat ini masih zonk.
“Tapi sampai sekarang belum ada realisasi. Saat ini kami masih sabar menunggu janji itu,” tukasnya. (habis)