SINGARAJA– Sebanyak 14 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di Buleleng gagal mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Semestinya belasan usaha tersebut mengantongi HaKI pada tahun 2022 lalu. Namun karena kendala administrasi, usaha-usaha tersebut akhirnya urung mendapatkan HaKI. Rencananya mereka akan diusulkan mendapatkan HaKI kembali pada tahun ini.
Pada tahun 2022 lalu, Badan Riset dan Inovasi Daerah (Brida) Buleleng sebenarnya mengusulkan agar 14 UMKM di Buleleng mengantongi HaKI. Usulan itu disampaikan pada Kementerian Hukum dan HAM melalui Brida Provinsi Bali. Namun dari 14 UMKM tersebut, sebanyak 13 UMKM diantaranya tidak memenuhi syarat. Sementara salah satu UMKM lainnya belum melengkapi syarat administrasi.
Kepala Brida Buleleng Made Supartawan mengungkapkan, belasan UMKM itu dinyatakan tak memenuhi syarat hanya karena masalah administrasi semata. “Nama yang diajukan sama dengan UMKM lain. Jadi sudah ada yang mengklaim nama tersebut. Jadi mereka tidak bisa mengajukan HaKI untuk merek dagang,” kata Supartawan saat ditemui di ruang kerjanya Selasa kemarin (17/1).
Supartawan mengungkapkan, UMKM yang mengajukan HaKI masih mengajukan nama yang bersifat umum. Sebut saja nama semisal Lengis Boreh, Kaliadrem, Senja, Wulan Cake, maupun Warung Dewi. Nama-nama itu dianggap terlalu umum dan sudah didaftarkan pihak lain.
“Jadi perlu nama yang lebih spesifik. Masalahnya kan nama yang akan didaftarkan ini sudah terlanjur melekat dengan usaha mereka. Jadi kami akan bertemu lagi dengan pelaku UMKM ini untuk membicarakan masalah nama. Apakah mereka mau melengkapi atau mengubah dengan nama lain,” katanya.
Lebih lanjut diungkapkan, pendaftaran hak merek sebenarnya cukup menguntungkan. Seandainya ada pihak lain yang meniru, maka pelaku UMKM memiliki legalitas hukum untuk mengajukan gugatan hukum. Baik itu gugatan pidana maupun perdata. Selain itu negara wajib memberikan perlindungan hukum bagi mereka yang telah mengantongi HaKI maupun hak merek.
“HaKI ini kan menguatkan merek maupun brand itu sendiri. Memang selama ini brand itu kurang disadari. Selama ini paradigmanya kan yang penting laku. Tapi kalau sudah punya HaKI, ada pesaing baru, bisa menguasai dan melindungi merek itu sendiri,” demikian Supartawan. (eps)