Petani gula juruh (gula merah) kini tengah krisis eksistensi. Pandemi membuat pendapatan terimpit. Kini muncul lagi wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis. Profesi petani gula terancam tinggal kenangan semata.
EKA PRASETYA, Buleleng
GEDE Asa Madiana, 41, bergegas mengambil tali tambang. Ia kemudian berpamitan pada istrinya, Eka Sasiani, 32. Dia harus bergegas. Nira dari tanaman lontar menanti dipanen.
Tepat pukul 07.00 pagi, ia mengendarai sepeda motor menuju kebun lontar miliknya. Ada 15 pohon lontar di sana. Gede Asa dengan cekatan memanjat pohon-pohon tersebut. Dia hanya bermodalkan tali tambang sebagai pengaman, sekaligus pegangan bila terpeleset.
Di atas pohon, sudah ada tempurung bambu yang digunakan menampung nira. Di dalam tempurung bambu itu, terdapat serutan kayu kesambi. Serutan kayu itu menjadi salah satu sarana fermentasi nira. Masyarakat setempat menyebut fermentasi nira dengan nama tuak.
Sayang hasil bumi belum berpihak pada Gede Asa. Dari 15 pohon lontar yang dipanjat, ia hanya mendapat tuak dari 6 pohon. Hasil yang didapat hanya sekitar 40 liter.
Ayah dua anak itu hanya bisa maklum. Menurutnya saat ini tanaman lontar masuk dalam fase pindoan. Pada fase ini, hasil nira tidak terlalu banyak. Karena pertumbuhan bunga lontar tak begitu lebat. Kondisi itu biasanya berlangsung pada bulan kelima sampai bulan kesembilan dalam kalender Bali.
“Nanti setelah kesanga (bulan sembilan dalam kalender Bali), baru bagus lagi bunganya. Istilahnya pas itu sudah masuk (fase) pisanan. Biasanya semua pohon berbunga. Sekali panen, bisa dapat 80 liter tuak,” jelas Asa saat ditemui di Dusun Selonding, Desa Les, Kecamatan Tejakula, pada Kamis (16/12) pagi.
Tuak yang dipanen pagi itu, langsung dimasukkan dalam jeriken dan dibawa pulang. Di rumah, istrinya sudah menyiapkan tungku. Sebuah penggorengan dengan ukuran jumbo telah disiapkan. Tuak yang dipanen tadi, langsung dituang ke atas penggorengan. Kini Gede Asa harus menjaga tungku selama tiga jam mendatang. Api di tungku tidak boleh terlalu besar, atau gula akan mengental. Api juga tidak boleh terlalu kecil, karena semakin lama matang.
Setelah tiga jam, gula juruh atau gula merah cair pun matang. Cukup didinginkan selama 30 menit. Setelah itu gula juruh langsung dikemas ke dalam botol plastik berukuran 600 militer. Di tingkat petani, gula juruh hanya dijual seharga Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per botol. Namun di tingkat pedagang, harga jualnya mencapai Rp 18 ribu hingga Rp 20 ribu per botol.
Biasanya gula juruh digunakan sebagai pemanis minuman. Termasuk limun. Ada pula yang menggunakan gula juruh sebagai bahan kue.
Profesi Turun Temurun
Gede Asa merupakan generasi ketiga petani gula juruh di Desa Les. Kakeknya, Nyoman Tangkas, sudah menggeluti profesi itu selama puluhan tahun. Profesi itu kemudian diwariskan pada ayahnya, Gede Yaba.
“Sekarang saya yang mewarisi. Bapak sudah lama tidak pernah buat gula lagi. Sudah tua, matanya sudah tidak awas,” cerita Asa.
Gede Asa sebenarnya sudah mengenali proses pembuatan juruh pada awal 1990-an silam. Saat itu ia masih remaja. Ia tidak pernah menganggap serius profesi sebagai petani gula juruh. Pada 2008 ia akhirnya serius menggeluti profesi itu. Mewarisi keahlian yang diturunkan keluarganya.
Istrinya juga berasal dari keluarga petani gula juruh. Mertuanya Wayan Ngastawa, 60, dulunya merupakan petani gula. Tapi sejak 5 tahun terakhir memilih beralih menjadi petani arak yang dianggap lebih menjanjikan.
Bekerja sebagai petani gula juruh butuh perhatian ekstra dan keahlian khusus. Terutama saat memanjat dan menderas nira lontar. Petani harus memastikan bunga lontar tidak terkena air hujan. Sebab hal itu akan memengaruhi kualitas gula juruh.
Dengan risiko pekerjaan yang tinggi, pendapatan petani gula juruh tak seberapa. Saat ini petani juruh rata-rata menghasilkan 5 botol gula per hari. Itu berarti pendapatan maksimal hanya Rp 75 ribu sehari. Saat panen raya, mereka bisa menghasilkan 7 botol gula. Tapi pada musim panen raya, harga gula biasanya anjlok menjadi Rp 12 ribu per botol.
“Kalau panen raya, bisa bawa pulang uang Rp 100 ribu itu sudah luar biasa. Jadi seberapa ada, ya dicukupkan saja,” tuturnya.
Pada masa pandemi ini. Pendapatannya tidak menentu. Masyarakat berusaha berhemat. Termasuk mengurangi pembelian gula juruh. Dampaknya kini Gede Asa harus menyambi sebagai buruh serabutan. Sebab ia harus menghidupi keluarganya, sekaligus keluarga orang tuanya.
Was-Was Cukai
Bukan hanya pandemi. Kini petani gula pun kian was-was. Seiring dengan wacana Kementerian Keuangan menerapkan cukai pada minuman kemasan yang mengandung pemanis. Wacana itu sempat dilontarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani di hadapan Komisi XI DPR RI pada Februari 2020 silam.
“Kalau kena cukai, berapa nanti petani harus jual gula? Sekarang saja pas-pasan. Takutnya nanti kan kami yang kecil ini ditekan sama pedagang biar menurunkan harga. Kami kan petani kecil, industri rumahan. Mestinya kan produk kami ini dilestarikan,” kata Gede Asa.
Bukan hanya petani, para pedagang juga ikut khawatir. Salah satunya Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sari Lestari Desa Les. BUMDes ini menampung gula juruh yang dihasilkan petani gula tradisional.
Pengawas BUMDes Sari Lestari, Nyoman Nadiana mengungkapkan, petani gula juruh selama ini hanya bertahan karena idealisme semata. Mereka bertahan, karena menjadi petani gula adalah profesi yang diwarisi leluhurnya. Namun tak sedikit yang menyerah. Biasanya mereka beralih menjadi buruh bangunan atau petani arak.
Nadiana menilai kebijakan menerapkan cukai pada minuman berpemanis, berpotensi mengancam petani gula juruh di Desa Les. Sebab gula yang dihasilkan petani biasanya dijadikan campuran minuman kemasan. Utamanya limun.
“Kami kan khawatirnya, nanti seperti tembakau. Rokok kena cukai, tembakau iris juga kena cukai. Nanti bisa jadi gula seperti itu. Minuman berpemanis kena cukai, gula juga kena cukai. Dampaknya kan ke petani juga,” ujarnya.
Perbekel Desa Les, Gede Adi Wiastra menuturkan, saat ini jumlah petani gula di desanya bisa dihitung dengan jari. Total hanya ada 10 keluarga saja. Sebanyak 5 keluarga tinggal di Dusun Selonding, dan 5 keluarga lainnya tinggal di Dusun Butiyang.
Kebanyakan adalah petani yang menggeluti profesi secara turun temurun. “Ada yang sudah sampai lima generasi. Minimal generasi ketiga,” ujarnya.
Menurut Adi wacana pengenaan cukai pada minuman berpemanis, akan makin mengancam petani gula. Ia khawatir kelak petani gula juruh di Desa Les hanya tinggal cerita.
Adi meminta agar negara hadir dan mendampingi para petani gula juruh lebih dulu. “Dampingi dulu petani gula juruh yang kecil-kecil seperti yang ada di desa kami. Majukan dulu ekonomi mereka. Setelah itu baru bicara yang lain. Entah cukai atau pajak, atau apalah bentuknya nanti. Kalau dalam kondisi pendapatan yang pas-pasan begitu, kemudian dikenakan cukai lagi, jelas akan kolaps pelaku usaha kecil di desa kami ini,” tegasnya.
Di sisi lain, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, Haryo Kuncoro menyebut wacana penerapan cukai pada minuman berpemanis tidak tepat. Ia khawatir wacana itu justru digunakan industri untuk menekan harga di tingkat petani.
“Kami khawatir kalau nanti harga bahan baku yang ditekan. Supaya tetap bisa menjual produk, harga bahan baku ditekan. Jadi dampak (kenaikan harga) yang timbul dibebankan pada petani,” kata Haryo dalam diskusi daring bertajuk “Habis Manis Gula Dicaci” yang digelar oleh Aloha Institute pada awal Desember 2021 lalu.
Apabila pemerintah bersikeras menerapkan cukai, ia mengusulkan agar hal itu diterapkan pada gula yang dihasilkan dari proses kimiawi. Selain itu pemerintah juga bisa menerapkan bea masuk pada gula impor.
“Kalau memang tujuan penerapan cukai ini untuk kesehatan, seharusnya pemerintah memberikan edukasi yang lebih masif pada masyarakat. Sebaiknya jangan terburu-buru mengambil kebijakan. Karena dampaknya akan cukup berat bagi pelaku bisnis makanan dan minuman, termasuk konsumen,” tukasnya.