Pemkab Buleleng punya rencana menenggelamkan eks kapal perang KRI-364 Ki Hajar Dewantara. Bangkai kapal itu diharapkan jadi salah satu destinasi wisata di Bali Utara. Tapi menenggelamkan kapal itu bukan perkara mudah. Ada birokrasi panjang yang harus dilalui. Seperti apa?
HARAPAN untuk memiliki destinasi wisata bahari baru di Bali Utara sudah dimulai sejak awal tahun lalu. Tatkala itu Pemkab Buleleng mendapat kabar bahwa TNI AL akan menghibahkan beberapa kapal perang yang sudah pensiun sejak beberapa tahun silam. Salah satunya KRI-364 Ki Hajar Dewantara.
Kapal itu sebenarnya sudah bergabung dalam barisan kapal penjaga perbatasan RI sejak tahun 1978 silam. Kapal perusak dengan peluru kendali itu bukan hanya menjadi kapal perang, tapi juga kapal latih bagi prajurit TNI AL.
Tapi pada tahun 2019 lalu, kapal itu dipensiunkan karena usianya yang terlampau uzur. Sejak pensiun, kapal lebih banyak terparkir di dermaga Komando Armada II Surabaya. Pemerintah dan Mabes TNI AL pun berencana menghibahkan aset tersebut kepada pemerintah daerah yang bersedia memeliharanya.
Buleleng pun tertarik dengan iming-iming hibah itu. Rencananya kapal akan ditenggelamkan di lepas Pantai Pacung, Kecamatan Tejakula. Sehingga kapal itu akan jadi daya tarik wisata bahari di Bali Utara. Hal itu serupa dengan wisata selam bangkai kapal USS Liberty di perairan Desa Tulamben, Karangasem.
Sejak September 2022 lalu, pemerintah mulai membahas langkah-langkah strategis terkait proses pengembangan wisata. Bahkan teknis penenggelaman dan teknis pengelolaan pun telah dibicarakan. Rencananya pengelolaan akan dilakukan secara tripartit dengan melibatkan Pemkab Buleleng, Pemprov Bali, dan Bali Tourism Board.
Kemarin pemerintah kembali membahas teknis hibah aset eks KRI tersebut. Ternyata proses hibah aset tak semudah yang dibayangkan. Kini proses hibah masih diajukan Kementerian Pertahanan kepada Kementerian keuangan, untuk kemudian mendapat persetujuan hibah dari Presiden. Selesai sampai di sana? Ternyata masih ada proses lagi. Proses hibah harus mendapat persetujuan dari DPR.
“Karena aset eks KRI itu nilai perolehannya dianggap di atas Rp 100 miliar. Jadi harus ada persetujuan DPR. Itu hal yang wajar dalam proses hibah. Kita pun kalau mau hibah aset yang nilainya di atas Rp 5 miliar harus persetujuan DPRD,” kata Sekkab Buleleng Gede Suyasa.
Masalah belum tuntas sampai di sana. Sejak KRI Ki Hajar Dewantara dinyatakan pensiun, status aset sudah dihapus dari Mabes TNI AL. Sehingga tak ada lagi perawatan rutin terhadap kapal tersebut. Lantaran lama tak tersentuh perawatan, praktis kondisi kapal tak lagi prima. Bahkan kondisinya disebut sudah di bawah 50 persen.
“Artinya sudah mulai ada kebocoran-kebocoran kecil. Berpeluang juga akan makin turun posisinya. Saat ini kapal itu masih ada di dermaga Surabaya, sudah ada korosi juga. Kami tidak bisa merawat karena belum jadi aset Pemkab Buleleng, dari TNI AL juga tidak bisa merawat karena sudah bukan aset mereka,” ujarnya.
Pihaknya pun akan membahas kembali soal prosedur hibah tersebut. Terutama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Bali, serta Bali Tourism Board yang siap membiayai proses pengembangan kawasan. Menurut Suyasa ada aspek teknis dan biaya yang harus diperhitungkan. Khusus soal biaya, untuk pemindahan kapal dari Surabaya menuju Pacung saja, diperkirakan menghabiskan dana hingga Rp 2,5 miliar.
“BTB sampai saat ini komitmennya masih tegas soal itu. Tapi harus dicek juga, kondisi fisiknya seperti apa, kerusakannya bagaimana, dan biaya pemeliharaan sementara itu seperti apa. Karena kalau turun (tenggelam) lebih dalam, itu jelas jadi kendala teknis juga saat dibawa ke Buleleng,” demikian Suyasa. (eka prasetya/rid)