29.8 C
Denpasar
Saturday, June 3, 2023

Unik, Tradisi Mabubu di Desa Adat Pundukdawa Klungkung Saat Pengerupukan

KLUNGKUNG-Bali kaya akan tradisi adat dan budaya. Salah satu hari raya besar yang menampilkan banyak tradisi adalah hari raya Nyepi. Bisa terlihat saat Pengerupukan, atau sehari sebelum Nyepi. Salah satu yang unik pada saat Pengerupukan ada di Desa Adat Pundukdawa, di Kecamatan Dawan, Klungkung.

“ Ada sedikit perbedaan dalam Pengerupukan di desa Pundukdawa, di Bali pada malam pengerupukan umumnya dilaksanakan dengan mengarak Ogoh-ogoh di sekitar desa, namun beda di Pundukdawa yang melaksanakan Mabubu,” tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu lewat email yang diterima redaksi.

Sekadar diketahui, Mabubu adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan pada malam Pengerupukan. Rangkaian Nyepi di Pundukdawa dimulai seperti desa lain pada umumnya, yaitu upacara ke segara/pantai (Melasti, dll) beberapa hari sebelum Nyepi, kemudian tepat pada saat Pengerupukan dilaksanakan upacara di Pura Dalem yang kemudian akan disambung dengan melaksanakan Mabubu.

Mabubu berasal dari kata Mabuu-buu, kurang lebih pelaksanaannya mirip dengan upacara skala kecil yang dilakukan di rumah, saat malam Pengerupukan, yaitu saat berkeliling rumah dengan sarana banten, tirtha, api, dan bunyi-bunyian yang dibawa keliling rumah dengan tujuan menetralisir kekuatan negative. Hanya saja, Mabubu di lingkungan desa dilakukan dengan sarana yang lebih besar dan keunikan tersendiri.

Baca Juga:  Gugatan atas Lahan PKB Mentok di PN Semarapura, Pengacara Penggugat Pikir-Pikir Dulu

Mabubu di Pundukdawa dimulai dengan dibunyikannya kentongan di bale banjar kemudian peserta (warga termasuk pemuda) berkumpul di Pura Puseh, beberapa peserta akan membawa ‘Prakpak’ (daun kelapa kering yang disusun agar memiliki bentuk dan ukuran yang lebih besar) dan beberapa peserta lainnya akan membawa bunyi-bunyian seperti okokan (kalung sapi) atau kukul (kentongan). Selanjutnya, prakpak dibakar hingga apinya membesar kemudian peserta yang membawa okokan akan berlari dan berteriak yang kemudian akan dikejar oleh yang membawa prakpak sambil memukul-mukul prakpak sehingga bara-bara api akan berjatuhan di badan pembawa okokan.

Warga sekitar menonton dengan antusias dari pinggir jalan. Ada juga yang ikut berteriak saat melihat peserta yang biasanya bertelanjang dada terkena bara api di badan.

Baca Juga:  Agus Budiada Dituntut 5 Bulan Penjara karena Sudah Ada Perdamaian

Mereka terus berteriak, berlari maju dan kembali ke belakang sepanjang jalan di Pundukdawa. Kemudian akan berakhir di sisi paling selatan perbatasan desa.

Setelah itu, peserta akan kembali berkumpul di bale banjar untuk bercengkrama sekaligus mengobati goresan luka-luka bakar dari bara api dengan lidah buaya atau yang lainnya, mengingat tradisi ini murni dilakukan atas dasar semangat dan kebangaan tanpa embel-embel kesaktian.

“ Yang unik di sini adalah, tradisi ini tidak ada di tempat lain, hanya satu-satunya di Klungkung, atau mungkin di Bali. Ada yang serupa tapi tidak persis sama,” tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu.

Semua terlihat begitu bersemangat, cinta dan rasa bangga akan warisan leluhur menjadi bahan bakar utama para peserta dalam menjalakannya.  “ Semoga akan tetap lestari selamanya. Apapun tradisi dan budayanya, tetap lestarikan dan saling menghormati, hidup damai dan penuh kasih sayang dalam keanekaragaman,”tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu lewat email yang diterima redaksi.



KLUNGKUNG-Bali kaya akan tradisi adat dan budaya. Salah satu hari raya besar yang menampilkan banyak tradisi adalah hari raya Nyepi. Bisa terlihat saat Pengerupukan, atau sehari sebelum Nyepi. Salah satu yang unik pada saat Pengerupukan ada di Desa Adat Pundukdawa, di Kecamatan Dawan, Klungkung.

“ Ada sedikit perbedaan dalam Pengerupukan di desa Pundukdawa, di Bali pada malam pengerupukan umumnya dilaksanakan dengan mengarak Ogoh-ogoh di sekitar desa, namun beda di Pundukdawa yang melaksanakan Mabubu,” tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu lewat email yang diterima redaksi.

Sekadar diketahui, Mabubu adalah sebuah tradisi yang dilaksanakan pada malam Pengerupukan. Rangkaian Nyepi di Pundukdawa dimulai seperti desa lain pada umumnya, yaitu upacara ke segara/pantai (Melasti, dll) beberapa hari sebelum Nyepi, kemudian tepat pada saat Pengerupukan dilaksanakan upacara di Pura Dalem yang kemudian akan disambung dengan melaksanakan Mabubu.

Mabubu berasal dari kata Mabuu-buu, kurang lebih pelaksanaannya mirip dengan upacara skala kecil yang dilakukan di rumah, saat malam Pengerupukan, yaitu saat berkeliling rumah dengan sarana banten, tirtha, api, dan bunyi-bunyian yang dibawa keliling rumah dengan tujuan menetralisir kekuatan negative. Hanya saja, Mabubu di lingkungan desa dilakukan dengan sarana yang lebih besar dan keunikan tersendiri.

Baca Juga:  Seru! Aksi Tradisi Mabubu di Pundukdawa, Dawan, Klungkung

Mabubu di Pundukdawa dimulai dengan dibunyikannya kentongan di bale banjar kemudian peserta (warga termasuk pemuda) berkumpul di Pura Puseh, beberapa peserta akan membawa ‘Prakpak’ (daun kelapa kering yang disusun agar memiliki bentuk dan ukuran yang lebih besar) dan beberapa peserta lainnya akan membawa bunyi-bunyian seperti okokan (kalung sapi) atau kukul (kentongan). Selanjutnya, prakpak dibakar hingga apinya membesar kemudian peserta yang membawa okokan akan berlari dan berteriak yang kemudian akan dikejar oleh yang membawa prakpak sambil memukul-mukul prakpak sehingga bara-bara api akan berjatuhan di badan pembawa okokan.

Warga sekitar menonton dengan antusias dari pinggir jalan. Ada juga yang ikut berteriak saat melihat peserta yang biasanya bertelanjang dada terkena bara api di badan.

Baca Juga:  Diguyur Hujan Deras, Tanaman Padi Petani Rebah, Hasil Panen Berkurang

Mereka terus berteriak, berlari maju dan kembali ke belakang sepanjang jalan di Pundukdawa. Kemudian akan berakhir di sisi paling selatan perbatasan desa.

Setelah itu, peserta akan kembali berkumpul di bale banjar untuk bercengkrama sekaligus mengobati goresan luka-luka bakar dari bara api dengan lidah buaya atau yang lainnya, mengingat tradisi ini murni dilakukan atas dasar semangat dan kebangaan tanpa embel-embel kesaktian.

“ Yang unik di sini adalah, tradisi ini tidak ada di tempat lain, hanya satu-satunya di Klungkung, atau mungkin di Bali. Ada yang serupa tapi tidak persis sama,” tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu.

Semua terlihat begitu bersemangat, cinta dan rasa bangga akan warisan leluhur menjadi bahan bakar utama para peserta dalam menjalakannya.  “ Semoga akan tetap lestari selamanya. Apapun tradisi dan budayanya, tetap lestarikan dan saling menghormati, hidup damai dan penuh kasih sayang dalam keanekaragaman,”tulis Sekaa Teruna Tunjung Wahyu lewat email yang diterima redaksi.


Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru