Di Rumah Belajar Bangah, Desa Panji, Buleleng, Bali, siswa yang belajar di sana sebetulnya gratis. Namun, mereka akhirnya dikenakan biaya berupa menyerahkan sampah plastik sebulan sekali.
EKA PRASETYA, Singaraja
KETIKA siswa yang belajar di Rumah Belajar Bangah semakin banyak, Putu Agus Suarsana, 34, kebingungan. Ia kemudian mendatangi kantor desa. Meminta bala bantuan.
Saat itu Perbekel Panji Jro Mangku Made Ariawan memberikan bantuan meja dan papan tulis untuk sarana belajar. Pihak desa juga menghubungkan dengan beberapa relawan pendidikan. Salah satunya Sidatapa English Corner.
Dari sana proses pendidikan di Rumah Belajar Bangah kemudian berjalan dengan lebih lancar. Sejumlah relawan datang, menyumbangkan waktu, tenaga, serta ilmunya. Tiap hari, pukul 16.00 sore, anak-anak dari sekitar Dusun Bangah akan datang ke lokasi itu. Belajar bersama. Hingga kini ada 101 orang anak yang terdaftar. Namun rata-rata hanya ada 40 orang anak yang datang per hari.
Pada hari Minggu, mereka akan mendapat pelajaran Bahasa Inggris. Kemudian pelajaran Agama Hindu pada hari Senin, Bahasa Bali di hari Selasa, Matematika pada hari Rabu, serta Bahasa Jepang pada hari Jumat atau Sabtu. Sementara pada hari Kamis, kegiatan diliburkan sehari.
Untuk mengenyam pendidikan itu, Agus Suarsana tidak menerapkan tarif khusus. Anak-anak hanya diminta mengumpulkan sampah plastik sebulan sekali. Tidak ada jumlah minimal. Baginya sampah hanya menjadi stimulan agar anak-anak lebih mengapresiasi pendidikan yang diberikan.
Sampah yang terkumpul selanjutnya diserahkan pada pihak desa. Biasanya sampah akan dibeli dengan harga Rp1.500 hingga Rp2.000 per kilogram. Uang yang terkumpul digunakan membeli makanan ringan.
“Makanan itu jadi insentif untuk anak-anak. Kalau mereka mau maju ke depan, nanti dapat makanan sebungkus,” katanya.
Sementara untuk operasional, ia mengandalkan kantong pribadi. Selain itu donatur juga selalu datang sebulan sekali. Menyumbangkan barang untuk keperluan belajar. Ada pula yang menyumbang uang untuk insentif para relawan mengajar.
Agus mengaku tak tahu pasti sampai kapan rumah belajar itu bertahan. Ia hanya berusaha bertahan semaksimal mungkin.
“Anak saya masih butuh bimbel tambahan. Selama itu juga saya berusaha bertahan. Saya juga takut didemo anak-anak di sini. Karena kalau tutup sehari saja, anak-anak sudah ramai protes di depan rumah saya,” ujar Agus seraya tertawa. (habis)