Sejumlah desa adat di Buleleng merayakan nyepi hingga dua kali dalam setahun. Ini bukan tanpa alasan, sebab desa-desa tersebut memiliki sejarah panjang terkait pelaksanaan Nyepi desa.
BAHKAN nyepi desa itu telah dilakukan jauh sebelum Nyepi tahun baru caka dilaksanakan. Beberapa desa yang memiliki tradisi nyepi desa diantaranya Desa Adat Cempaga di Kecamatan Banjar, Desa Adat Sangambu di Kecamatan Tejakula, serta Desa Adat Banyuning di Kecamatan Buleleng.
Di Desa Adat Banyuning misalnya. Selain melaksanakan nyepi tahun baru caka pada tilem kesanga, mereka juga menggelar nyepi desa. Penyepian itu dilaksanakan pada tilem kalima, dan menjadi bagian dari ngusaba desa.
Bendesa Adat Banyuning Wayan Suweta mengungkapkan upacara ngusaba desa merupakan rangkaian ritual yang panjang. Salah satu bagian dari ngusaba adalah pecaruan desa dan penyepian desa.
Proses nyepi desa dilaksanakan setahun sekali dalam kalender Bali, tepatnya pada tilem kalima. Sehari sebelumnya, desa adat wajib melaksankan pecaruan desa. Upacara itu menggunakan sejumlah sarana. Seperti angsa, kuluk bang bungkem, sapi, kambing, dan babi.
Usai pecaruan desa, maka dilanjtukan dengan nyepi desa pada keesokan harinya. Prosesinya sama dengan penyepian pada umumnya. Yakni amati karya, amati geni, amati lelungaan, dan amati lelanguan.
Bedanya hal itu mengikat bagi krama Desa Adat Banyuning. Sementara para perantau yang tinggal di wilayah wewidangan Desa Adat Banyuning, tak terikat dengan proses nyepi itu.
Biasanya selama nyepi desa, prajuru desa meminta seluruh aktivitas ekonomi dan perkantoran dihentikan. Praktis saat itu, pertokoan, sekolah, radio, maupun instansi pemerintahan, diliburkan sehari.
“Semua toko, sekolah, kantor, kami himbau tutup. Khusus jalan raya, tidak bisa kami tutup. Karena jalan di wewidangan desa adat kami ini kan sangat vital. Akses utama menuju Amlapura dan sebaliknya. Juga ke desa-desa tetangga. Tidak ada alternatif lain. Makanya tidak pernah kami tutup,” ujarnya.
Meski begitu, Suweta mengklaim tidak mengurangi kekhusyukan dan makna dari pelaksanaan nyepi desa. “Kami harap krama Banyuning bisa mengikuti dresta. Sedangkan perantau yang tidak menjadi krama, tapi tinggal di wewidangan Banyuning, kami tidak bisa mengikat mereka. Tapi kami harap mereka menghormati dresta yang berlaku di Banyuning,” tegasnya. (eka prasetya/radar bali)