31.8 C
Denpasar
Saturday, March 25, 2023

Kakak Gangguan Jiwa, Ibu Sakit, Rela Tak Menikah Demi Hidupi Keluarga

TERLAHIR dari keluarga miskin, kisah hidup Ni Nyoman Rai benar-benar sangat memprihatinkan dan bikin miris.

 

Bahkan demi menghidupi ibunya yang sakit dan kakaknya yang mengalami gangguan jiwa, perempuan 43 tahun yang tinggal di Banjar Ababi Kaler, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem ini rela tak menikah.

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

MENGENAKAN kaos biru dan celana motif kembang, Ni Nyoman Rai terlihat sedang sibuk mencacah daun talas di kebun untuk pakan ternak babi miliknya saat ditemui Jawa Pos Radar Bali, Rabu (2/6).

 

Meski sibuk, perempuan berpenanpilan sangat sederhana ini menyambut sangat ramah.

 

Bahkan tak seperti perempuan desa seusianya, Ni Nyoman Rai tak canggung menceritakan kehidupan sulit yang dialaminya bersama keluarga.

 

Masih sambil mencacah daun talas untuk pakan ternak babi, Ni Nyoman Rai pun bercerita tentang kondisi keluarganya.

 

Sebagai tulang punggung, Nyoman Rai harus merawat kakaknya Made Merta, 47 dan ibunya.

 

Di rumah berlantai semen dan terbilang tak layak huni, kumuh, serta tak terawatt itu,

Ia harus datang untuk merawat sang kakak yang mengalami gangguan jiwa.

 

“Di rumah ini yang tidur hanya kakak saya. Kalau saya tidur di tempat ipar bersama ibu saya,” kata Rai.

Sejak kakaknya kerap kali mengamuk akibat gangguan kejiwaan, ia memilih untuk memindahkan ibunya yang kini sudah menginjak usia 90 tahun untuk tinggal di rumah ipar yang lokasinya tak jauh dari rumah miliknya.

 

“Karena saya khawatir, kakak saya ini sering ngamuk kalau lagi kumat. Kalau sudah kumat itu semua dihancurin. Takutnya ibu saya jadi sasaran. Makanya saya pindahkan untuk keselamatan,” ujarnya.

Baca Juga:  Tiga Penangung Jawab Galian C Diperiksa

Kakak Rai, Made Merta mengidap gangguan jiwa sepulang merantau dari Denpasar di tahun 2001 silam.

 

Hanya saja, soal penyebab kakaknya mengalami gangguan jiwa, Ni Nyoman Rai secara persis mengaku tidak tahu.

 

“Penyebab pastinya tidak tahu, tetapi usaha berobat mulai dari medis hingga non medis sudah ditempuh,”tambahnya.

 

Bahkan dengan kondisi sang kakak, Nyoman Rai mengaku jika hasil kerja Rai sebagai kuli panggul beras di Denpasar hingga Jembrana sudah habis untuk mengobati kakaknya itu.

 

“Dulu tabungan saya sudah habis buat berobat kakak saya ini. Sampai sekarang. Saya sempat kerja kuli panggul, tapi sejak ibu saya dan kakak saya sakit, saya memilih berhenti merantau. Fokus untuk merawat keduanya. Karena bapak saya sudah meninggal lama,” tutur Rai.

Karena tidak lagi bekerja, Rai harus banting tulang seorang diri untuk menghidupi keluarganya tersebut.

 

Bahkan ia rela tidak menikah demi merawat keduanya. Belum lagi ibunya Ni Wayan Manis sudah lama sakit.

 

Praktis kondisi ini membuatnya semakin dihadapkan pada kesulitan yang berlebih. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia harus meminjam ke beberapa tentangganya agar ia dan kakak serta ibunya bisa makan.

 

“Karena tidak ada penghasilan saya sering pinjam uang ke tetangga. Nilainya bervariasi. Antara satu juta sampai dua juta,” bebernya.

Uang tersebut baru bisa ia kembalikan ketika anak babi dari induknya itu laku terjual.

 

Untuk pakan ternak, dirinya juga kerap berhutang.

 

“Paling lama saya mengembalikan itu enam bulan. Tapi biasanya tiga bulan sudah dibayar utangnya. Untungnya sering tidak dikenakan bunga,” kata dia.

Saa ini, yang menjadi sumber penghasilan Rai untuk menghidupinya keluarganya dari dua induk babi yang dimilikinya.

Baca Juga:  Operasi Lintas Laut, Siapkan Upacara, Kenalkan Dumlap

 

Dari dua induk babi itulah lahir anak-anak babi yang kemudian dijual satu per satu sebagai penyambung hidup.

 

Sebelumnya ia sempat berjualan daluman di depan Pura Puseh desa Ababi.

 

Namun sejak dua bulan ini ia memilih berhenti berjualan lantaran kondisi sakitnya yang terus menyerang.

 

“Sudah dua bulan tidak jualan karena saya sakit saluran infeksi kencing dan otot kaku,” tuturnya.

Duka kehidupan yang dialami Ni Nyoman Rai seakan tidak berkesudahan. Di tengah kehidupan sulitnya itu, hampir tidak ada bantua pemerintah baik bantuan beras sejahtera (rastra) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT).

 

“Dulu raskin (rastra) sempat dapat. Tapi sudah dua tahun tidak lagi. Kalau BLT juga sudah tidak dapat dari lima bulan lalu,” akunya.

Padahal dua bantuan itu sangat ia harapkan. Perhatian berupa bantuan yang kerap datang justru buka dari pemerintah, melainkan sejumlah yayasan yang kerap mengunjunginya untuk membantu kehidupan keluarganya.

 

“Saya berharap dapat bantuan dari pemerintah. Karena sangat berarti bagi saya dan keluarga. Kalau bisa juga bisa dapat bantuan bedah rumah. Karena rumahnya sudah seperti ini. Kakak saya tidurnya di lantai. Pakai alas karpet,” terang Rai sembari memperlatkan kondisi kamar tidur yang kumuh.

Meski di tengah kesulitan yang terus mendera kehidupannya itu, ia tetap harus semangat menghadapi kenyataan.

 

Karena dengan hanya mengiba dan mengeluh justru menambah kondisi hidupnya dan keluarganya semakin sulit.

 

“Mengeluh tidak menyelesaika masalah. Saya hanya bisa terus berjuang. Meski kondisi sudah sakit-sakitan, tapi kehidupan harus terus dilalui demi kakak dan ibu saya ini,” tandasnya. (*)



TERLAHIR dari keluarga miskin, kisah hidup Ni Nyoman Rai benar-benar sangat memprihatinkan dan bikin miris.

 

Bahkan demi menghidupi ibunya yang sakit dan kakaknya yang mengalami gangguan jiwa, perempuan 43 tahun yang tinggal di Banjar Ababi Kaler, Desa Ababi, Kecamatan Abang, Karangasem ini rela tak menikah.

 

ZULFIKA RAHMAN, Amlapura

MENGENAKAN kaos biru dan celana motif kembang, Ni Nyoman Rai terlihat sedang sibuk mencacah daun talas di kebun untuk pakan ternak babi miliknya saat ditemui Jawa Pos Radar Bali, Rabu (2/6).

 

Meski sibuk, perempuan berpenanpilan sangat sederhana ini menyambut sangat ramah.

 

Bahkan tak seperti perempuan desa seusianya, Ni Nyoman Rai tak canggung menceritakan kehidupan sulit yang dialaminya bersama keluarga.

 

Masih sambil mencacah daun talas untuk pakan ternak babi, Ni Nyoman Rai pun bercerita tentang kondisi keluarganya.

 

Sebagai tulang punggung, Nyoman Rai harus merawat kakaknya Made Merta, 47 dan ibunya.

 

Di rumah berlantai semen dan terbilang tak layak huni, kumuh, serta tak terawatt itu,

Ia harus datang untuk merawat sang kakak yang mengalami gangguan jiwa.

 

“Di rumah ini yang tidur hanya kakak saya. Kalau saya tidur di tempat ipar bersama ibu saya,” kata Rai.

Sejak kakaknya kerap kali mengamuk akibat gangguan kejiwaan, ia memilih untuk memindahkan ibunya yang kini sudah menginjak usia 90 tahun untuk tinggal di rumah ipar yang lokasinya tak jauh dari rumah miliknya.

 

“Karena saya khawatir, kakak saya ini sering ngamuk kalau lagi kumat. Kalau sudah kumat itu semua dihancurin. Takutnya ibu saya jadi sasaran. Makanya saya pindahkan untuk keselamatan,” ujarnya.

Baca Juga:  Dilirik Kementerian Pariwisata, Dorong Konservasi Budaya sebagai Daya Tarik

Kakak Rai, Made Merta mengidap gangguan jiwa sepulang merantau dari Denpasar di tahun 2001 silam.

 

Hanya saja, soal penyebab kakaknya mengalami gangguan jiwa, Ni Nyoman Rai secara persis mengaku tidak tahu.

 

“Penyebab pastinya tidak tahu, tetapi usaha berobat mulai dari medis hingga non medis sudah ditempuh,”tambahnya.

 

Bahkan dengan kondisi sang kakak, Nyoman Rai mengaku jika hasil kerja Rai sebagai kuli panggul beras di Denpasar hingga Jembrana sudah habis untuk mengobati kakaknya itu.

 

“Dulu tabungan saya sudah habis buat berobat kakak saya ini. Sampai sekarang. Saya sempat kerja kuli panggul, tapi sejak ibu saya dan kakak saya sakit, saya memilih berhenti merantau. Fokus untuk merawat keduanya. Karena bapak saya sudah meninggal lama,” tutur Rai.

Karena tidak lagi bekerja, Rai harus banting tulang seorang diri untuk menghidupi keluarganya tersebut.

 

Bahkan ia rela tidak menikah demi merawat keduanya. Belum lagi ibunya Ni Wayan Manis sudah lama sakit.

 

Praktis kondisi ini membuatnya semakin dihadapkan pada kesulitan yang berlebih. Untuk kebutuhan sehari-hari saja ia harus meminjam ke beberapa tentangganya agar ia dan kakak serta ibunya bisa makan.

 

“Karena tidak ada penghasilan saya sering pinjam uang ke tetangga. Nilainya bervariasi. Antara satu juta sampai dua juta,” bebernya.

Uang tersebut baru bisa ia kembalikan ketika anak babi dari induknya itu laku terjual.

 

Untuk pakan ternak, dirinya juga kerap berhutang.

 

“Paling lama saya mengembalikan itu enam bulan. Tapi biasanya tiga bulan sudah dibayar utangnya. Untungnya sering tidak dikenakan bunga,” kata dia.

Saa ini, yang menjadi sumber penghasilan Rai untuk menghidupinya keluarganya dari dua induk babi yang dimilikinya.

Baca Juga:  Gara-Gara Abaikan Arahan Pemerintah, Delapan Krama Bali Positif Corona

 

Dari dua induk babi itulah lahir anak-anak babi yang kemudian dijual satu per satu sebagai penyambung hidup.

 

Sebelumnya ia sempat berjualan daluman di depan Pura Puseh desa Ababi.

 

Namun sejak dua bulan ini ia memilih berhenti berjualan lantaran kondisi sakitnya yang terus menyerang.

 

“Sudah dua bulan tidak jualan karena saya sakit saluran infeksi kencing dan otot kaku,” tuturnya.

Duka kehidupan yang dialami Ni Nyoman Rai seakan tidak berkesudahan. Di tengah kehidupan sulitnya itu, hampir tidak ada bantua pemerintah baik bantuan beras sejahtera (rastra) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT).

 

“Dulu raskin (rastra) sempat dapat. Tapi sudah dua tahun tidak lagi. Kalau BLT juga sudah tidak dapat dari lima bulan lalu,” akunya.

Padahal dua bantuan itu sangat ia harapkan. Perhatian berupa bantuan yang kerap datang justru buka dari pemerintah, melainkan sejumlah yayasan yang kerap mengunjunginya untuk membantu kehidupan keluarganya.

 

“Saya berharap dapat bantuan dari pemerintah. Karena sangat berarti bagi saya dan keluarga. Kalau bisa juga bisa dapat bantuan bedah rumah. Karena rumahnya sudah seperti ini. Kakak saya tidurnya di lantai. Pakai alas karpet,” terang Rai sembari memperlatkan kondisi kamar tidur yang kumuh.

Meski di tengah kesulitan yang terus mendera kehidupannya itu, ia tetap harus semangat menghadapi kenyataan.

 

Karena dengan hanya mengiba dan mengeluh justru menambah kondisi hidupnya dan keluarganya semakin sulit.

 

“Mengeluh tidak menyelesaika masalah. Saya hanya bisa terus berjuang. Meski kondisi sudah sakit-sakitan, tapi kehidupan harus terus dilalui demi kakak dan ibu saya ini,” tandasnya. (*)


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru