SD Negeri 4 Gobleg di Kecamatan Banjar berhasil meraih penghargaan Adiwiyata Nasional dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Penghargaan itu diterima pada Desember 2022 lalu. Seperti apa kiat sukses mereka hingga berhasil meraih penghargaan tersebut?
DERETAN eco brick terlihat rapi di taman sekolah. Di antara eco brick itu terdapat berbagai jenis tanaman. Baik itu sayur mayur maupun tanaman obat. Eco brick itu hanya salah satu program nyata dari pendidikan wawasan lingkungan bersih yang ditanamkan pada seluruh siswa di SDN 4 Gobleg.
Sekolah yang terletak di Desa Gobleg, Kecamatan Banjar itu cukup istimewa. Sekolah itu berhasil meraih penghargaan Adiwiyata Nasional dari Kementerian LHK pada Desember 2022 lalu. Adiwiyata merupakan penghargaan paling bergengsi di bidang lingkungan. Tahun ini hanya ada dua sekolah di Buleleng yang berhasil meriah penghargaan itu. Yakni SMPN 6 Singaraja dan SDN 4 gobleg.
Kepala SDN 4 Gobleg, I Putu Edy Artawan mengaku proses untuk meraih penghargaan itu bukan hal yang mudah. Butuh waktu selama bertahun-tahun untuk menata lingkungan menjadi asri dan hijau. Lebih dari itu, butuh waktu yang cukup panjang untuk membudayakan siswa memilah sampah dari sumbernya.
Edy mengaku dulunya pengelolaan sampah di sekolah tersebut belum optimal. Sampah hanya ditimbun, lalu dibakar. Dampaknya cukup buruk. Asap membubung dan berpotensi merusak lapisan ozon. Terkadang asap hasil pembakaran masuk ke kelas hingga mengganggu proses pembelajaran.
Selain itu tanaman di areal sekolah juga minim. Dampaknya saat turun hujan sekolah menjadi becek. Sebaliknya saat kemarau, halaman sekolah jadi sangat berdebu.
Akhirnya seluruh warga sekolah melakukan perbaikan. Hal pertama yang dilakukan adalah membudayakan siswa memilah sampah. Setiap kelas diberi dua tong sampah. Masing-masing untuk menampung sampah plastik dan organic.
Setelah terpilah, sampah-sampah itu langsung dikelola. Khusus sampah plastik, dikelola menjadi eco brick. Selanjutnya eco brick digunakan sebagai pagar tanaman hingga tempat duduk di halaman sekolah. Khusus sampah organik dikelola jadi kompos maupun pupuk organik cair.
Gayung bersambut, pada tahun 2018 sekolah berhasil mengantongi predikat Adiwiyata tingkat kabupaten. Pada tahun yang sama mereka juga mengantongi predikat Adiwiyata untuk tingkat provinsi.
Sebenarnya mereka berambisi merengkuh predikat Adiwiyata nasional pada tahun selanjutnya. Namun rencana itu harus tertunda beberapa tahun karena pandemi covid-19. Akhirnya asa itu berhasil direngkuh pada Desember 2022 lalu.
“Bisa dibilang penghargaan ini hasil dari jerih payah kami selama empat tahun terakhir. Motivasi kami sebenarnya sederhana. Kami hanya ingin membuat lingkungan sekolah bersih, rapi, dan sehat. Sehingga siswa juga nyaman belajar,” kata Edy.
Ia mengaku langkah itu tak mudah. Kendala terberat adalah membiasakan siswa memiliki kesadaran terhadap gerakan Peduli dan Budaya Lingkungan Hidup di Sekolah (PBLHS). Gerakan itu tak cukup dengan melakukan pemilihan sampah berbasis sumber di sekolah.
Siswa juga diajag melakukan Gerakan sapu bersih sampah yang rutin dilakukan tiap pagi. Disamping itu setiap Sabtu, siswa diajak melakukan gerakan bersih lingkungan yang menyasar kawasan di sekitar sekolah. Para guru juga diminta menyisipkan pendidikan peduli lingkungan dalam setiap proses belajar mengajar.
Menurut Edy, gerakan itu sempat berjalan efektif pada 2018 hingga 2019. “Tapi karena pandemi, budaya yang baik itu hilang saat anak-anak belajar dari rumah. Akhirnya saat kembali ke sekolah, kami harus tumbuhkan lagi kebiasaan dan budaya itu,” imbuhnya.
Edy mengaku kini masih ada pekerjaan rumah yang belum tuntas. Yakni mengurangi bungkus makanan plastik di kantin sekolah. Ia berupaya agar nantinya pembungkus makanan yang dijual di kantin, tak lagi menggunakan plastik. (eka prasetya/rid)