Ogoh-ogoh ST. Dharma Gargitha, Banjar Suwung Batan Kendal, Desa Adat Sesetan, Denpasar Selatan menggambarkan kemarahan bumi. Bahan yang digunakan 85 persen kardus.
MENGANGKAT tema Amurkaning Pertiwi bermakna kemarahan bumi. Disimbolkan dengan dua bentuk. Bagian atas binatang macan, badak, orang utan dan di bawahnya kura-kura. I Wayan Pasek Ristawan, konseptor ogoh-ogoh menjelaskan kemarahan bumi yang dimaksud bisa karena ulah manusia dan juga alamiah seperti gempa bumi yang divisualisasikan dua bagian. Bagian atas binatang yang dilindungi dan di bawah mitologi gempa bumi. Macan , orang utan dan badak sebagai gambaran imajinatif adalah hewan yang dilindungi, jika manusia tidak dapat menjaga kesimbangan alam hingga hewan-hewan ini terganggu. Kemudian, kura-kura dalam mitologi orang Bali bernama Bedawang Nala yang menggambarkan gempa bumi.
Pembuatannya 100 persen dari bahan ramah lingkungan. Kardus yang didapat berasal dari pasar swalayan yang berada di wilayah Suwung Batan Kendal. Penggunaan kardus dari instalasi sampai penyelesaiannya . Pasek akui ada kerumitan menggunakan kardus dibandingkan koran. “Kardus banyak di sini (Suwung Batan Kendal, Red) bahan sekitar lingkungan. Habis kami minta lagi,” terangnya.
Bentuk kardus simetris tidak ada melengkung dan pembuatannya tidak menggunakan clay atau adonan tanah liat. “ Kemudian plaster diminimalisir dan hanya sedikit menggunakan koran. Yang relevan sekarang logika karena orang sudah tidak baca lagi bentuk fisiknya,” ucapnya.
Sebelum membuat ogoh-ogoh ini, Pasek melakukan penelitian kecil-kecil untuk mencari ide dengan melihat ogoh-ogoh yang sudah ada sebelumnya. Itu dilakukan karena juga mengikuti kompetisi. Menurut Pasek, ide ini tidak murni dia temukan tapi juga mengadopsi dari yang lain.
Pembuatannya memakan waktu dua bulan lebih. Dari tanggal 17 Januari sampai 9 Maret ini harus sudah selesai. “Dua bulan kurang lah kami buatnya,” terangnya. Selain menggunakan kardus, ST Dharma Gargitha juga memakai kulit kayu,serabut kelapa, pelepah pisang, kulit telur, ketan hitam dan serbuk kayu untuk finishing .
Pesan yang disampaikan dari ogoh-ogoh ini merefleksikan manusia hidup di bumi supaya terus menjaga alam. “Item yang diatas. Alam itu bisa rusak selain ulah manusia seperti menebang pohon, merusak hutan, air, tanah dan sebagainya menganggu ekosistem yang ada. Digambarkan dengan macan, orang utan, dan badak.” Selain itu, kemarahan yang natural misalkan, gempa bumi, gunung meletus makanya mengambil tema Amurkaning Pertiwi secara global,” ucapnya.
Biaya yang dikeluarkan membuat ogoh-ogoh sebesar Rp 25 juta. Menurutnya lebih irit karena orang yang membuat dari banjar setempat memiliki kompetensi. Dari 25 juta, biaya yang paling besar pada mesin sekitar Rp 10 juta. Orang yang mengurusi mesin sekaa teruna Banjar Suwung Batan Kendal. “Biasanya ongkos besar kan. Ini tidak, tidak ada dari luar (teknisinya,red)” ujarnya.
Pasek menambahkan, dia menyoroti kritikan tentang biaya ogoh-ogoh yang tidak sedikit. Baginya, besaran dana tiap-tiap sekaa teruna berbeda-beda sehingga hasilnya pun berbeda. Ia ingin dalam penilaian ogoh-ogoh mengenai bahan dan anggaran masuk dalam penilaian. “Harus fair misalkan dikasih tanah satu kilogram ayo berusaha dengan bahan dan buat sekreatif mungkin dengan bahan yang diberikan,” tukasnya. (Ni Kadek Novi Febriani/rid)