26.5 C
Denpasar
Thursday, March 30, 2023

Kisah Made Suanda, Perajin Gong di Desa Sawan, Buleleng

Pandemi membuat berbagai sektor ekonomi luluh lantak. Salah satu yang terdampak adalah perajin gong. Pesanan turun drastis. Bahkan sempat nihil. Berbekal inovasi, kini perajin kembali bernapas. Seperti Made Suanda, perajin gong di Desa Sawan, Buleleng.

EKA PRASETYA, Singaraja

BENGKEL kerajinan itu terlihat sunyi. Tak ada denting suara logam yang ditempa. “Selama pandemi ya begini. Sepi,” ujar Made Suanda, 45, saat ditemui di yang terletak di Banjar Kawanan, Desa Sawan, Kecamatan Sawan, belum lama ini.

Suanda adalah salah seorang perajin yang eksis di Desa Sawan. Dia membuka pusat kerajinan gamelang yang bernama Surya Nada. Dia adalah salah seorang dari total lima orang perajin yang menekuni pande gong di desa tersebut.

Made Suanda mulai menggeluti kerajinan gong pada 1998 silam. Dia meneruskan trah perajin gong dari orang tuanya, mendiang Nyoman Karsa. Mendiang adalah salah seorang perajin gong yang tersohor pada era 1980-an hingga 1990-an.

Baca Juga:  Cerita Warga Baturinggit Saat Selamatkan Diri Dari Gempa, Trauma, Takut Tidur Dalam Rumah

Sebenarnya Made Suanda tak pernah terpikir akan menjadi seorang pande. Utamanya yang membuat gong. Dia sempat bekerja di Denpasar. Namun karena sakit, dia memilih pulang kampung. Di tanah kelahiran, penyakitnya berangsur sembuh.

Tatkala ayahnya mangkat, Made Suanda berusaha meneruskan warisan tersebut. Dia tak pernah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya. Sehingga semua keterampilan dipelajari secara mandiri.

“Setelah pulang kampung, saya ikut kerja sama bapak. Dari sana ya belajar otodidak. Tidak pernah diajari secara khusus. Lama kelamaan bisa. Memang keluarga sudah turun temurun buat gong. Dari buyut saya, ke kakek, bapak, dan terakhir saya dan adik-adik,” kata Suanda.

Sudah 23 tahun dia menggeluti usaha pembuatan gong. Nyaris tak pernah ada kendala berarti. Dalam setahun ia bisa melayani pembuatan 2-3 set barung gamelan. Entah itu gamelan gong kebyar atau angklung. Itu belum termasuk jasa perbaikan yang ia sediakan.

Baca Juga:  Mobil Warga di Buleleng Terbakar, Korban Menduga Dibakar Orang

Untuk membuat satu set gamelan, biasanya memakan waktu hingga 6 bulan. Durasi itu sangat bervariasi. Karena tergantung ketersediaan bahan baku. Terlebih bahan baku berupa perunggu, harus didatangkan dari Pulau Jawa.

Suanda menuturkan satu set gamelan setidaknya membutuhkan 350 kilogram perunggu. “Itu belum jegir (gong yang berukuran paling besar). Bahan baku juga harus menunggu dulu dari Jawa,” katanya. (Bersambung halaman berikutnya)



Pandemi membuat berbagai sektor ekonomi luluh lantak. Salah satu yang terdampak adalah perajin gong. Pesanan turun drastis. Bahkan sempat nihil. Berbekal inovasi, kini perajin kembali bernapas. Seperti Made Suanda, perajin gong di Desa Sawan, Buleleng.

EKA PRASETYA, Singaraja

BENGKEL kerajinan itu terlihat sunyi. Tak ada denting suara logam yang ditempa. “Selama pandemi ya begini. Sepi,” ujar Made Suanda, 45, saat ditemui di yang terletak di Banjar Kawanan, Desa Sawan, Kecamatan Sawan, belum lama ini.

Suanda adalah salah seorang perajin yang eksis di Desa Sawan. Dia membuka pusat kerajinan gamelang yang bernama Surya Nada. Dia adalah salah seorang dari total lima orang perajin yang menekuni pande gong di desa tersebut.

Made Suanda mulai menggeluti kerajinan gong pada 1998 silam. Dia meneruskan trah perajin gong dari orang tuanya, mendiang Nyoman Karsa. Mendiang adalah salah seorang perajin gong yang tersohor pada era 1980-an hingga 1990-an.

Baca Juga:  Dilaporkan Hilang, Nelayan Asal Karangasem Terdampar di Buleleng

Sebenarnya Made Suanda tak pernah terpikir akan menjadi seorang pande. Utamanya yang membuat gong. Dia sempat bekerja di Denpasar. Namun karena sakit, dia memilih pulang kampung. Di tanah kelahiran, penyakitnya berangsur sembuh.

Tatkala ayahnya mangkat, Made Suanda berusaha meneruskan warisan tersebut. Dia tak pernah mendapat pendidikan langsung dari ayahnya. Sehingga semua keterampilan dipelajari secara mandiri.

“Setelah pulang kampung, saya ikut kerja sama bapak. Dari sana ya belajar otodidak. Tidak pernah diajari secara khusus. Lama kelamaan bisa. Memang keluarga sudah turun temurun buat gong. Dari buyut saya, ke kakek, bapak, dan terakhir saya dan adik-adik,” kata Suanda.

Sudah 23 tahun dia menggeluti usaha pembuatan gong. Nyaris tak pernah ada kendala berarti. Dalam setahun ia bisa melayani pembuatan 2-3 set barung gamelan. Entah itu gamelan gong kebyar atau angklung. Itu belum termasuk jasa perbaikan yang ia sediakan.

Baca Juga:  Ten %, Kedai Kopi Tepi Sungai dengan Daya Tarik Khusus, Ubah Citra Sungai yang Kotor

Untuk membuat satu set gamelan, biasanya memakan waktu hingga 6 bulan. Durasi itu sangat bervariasi. Karena tergantung ketersediaan bahan baku. Terlebih bahan baku berupa perunggu, harus didatangkan dari Pulau Jawa.

Suanda menuturkan satu set gamelan setidaknya membutuhkan 350 kilogram perunggu. “Itu belum jegir (gong yang berukuran paling besar). Bahan baku juga harus menunggu dulu dari Jawa,” katanya. (Bersambung halaman berikutnya)


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru