26.5 C
Denpasar
Sunday, March 26, 2023

Sensasi Rasa Tuak Manis Jeriken Ala Made Wikan Priyan, Keliling Jajakan dengan Sepeda Motor

Penjual tuak manis dengan  motor biasanya ditemukan di sekitar Buleleng. Ciri khasnya penjual tuak manis dengan jeriken dan ada daun-daun yang dipasang menutup jeriken. Nah, pedagang tuak manis seperti itu juga ada di Denpasar berlokasi di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja, Denpasar.

MADE Wikan Priyan baru dua minggu berjualan tuak manis di Denpasar. Dengan motor matik berwarna putih dia berjualan arak di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja. Pria asal Astina, Buleleng ini setiap hari membawa sekitar 20liter tuak dan dengan waktu berapa jam langsung ludes terjual.

Ia berjualan setiap hari, dari pukul 10.00 pagi sampai siang. Sekitar pukul 13.00 maupun 14.00 tuak manisnya sudah habis terjual. Omzetnya setiap hari rata-rata bisa mengantongi Rp 300 ribu, bahkan sampai Rp 500 ribu.

Penampilan dia berjualan juga berbeda, setiap hari ia berjualan mengenakan topi klangsah yang biasanya dipakai petani. Wikan mendapatkan tuak ini justru dari Bangli bukan Buleleng. Bahan dasarnya dari getah pohon kelapa.  Sangat cocok diminum di saat   cuaca yang panas untuk melepas dahaga. Rasanya ada asam-asamnya dan dingin karena dicampur es batu. “Saya ambil dari Bangli, kebetulan paman kan  penderes kelapa,” ucapnya saat ditemui kemari.

Baca Juga:  Dipasarkan Hingga ke Hotel-hotel, Pandemi, Penjualan Turun 50 Persen

Ada yang membedakan dengan  penjual tuak di Buleleng, Wikan memakai kendi  dan biasanya penjual tuak manis di Buleleng pakai jeriken. Kendi itu adalah tempat tuak.  Tuak yang dia jual tanpa campuran.  Wikan hanya menambahkan es batu dan tuaknya  tanpa dicampur lagi dengan gula atau yang lainnya.  Di samping itu juga ada pilihan dicampur dengan loloh. “Kalau mau campur loloh 1: 1 takarannya,” ucap Laki-laki yang berusia 31 tahun ini.

Untuk harga hampir sama. Dengan plastik seharga Rp 5 ribu, dengan botol ukuran Rp 6 ml seharga Rp 13 ribu, dan botol besar 1,5liter Rp 30 ribu. Sedangkan untuk daun yang dipakai sebagai ciri khas adalah daun coklat, katanya berbeda  dengan penjual tuak manis kebanyakan memakai daun kesambi. “Daun ini hanya ciri khas saja, kalau di Buleleng kan biasa pakai daun kesambi kalau saya daun coklat,” ujarnya.

Baca Juga:  Mengikuti Acara Krama Istri di Tabanan Membuat Banten Nangluk Mrana Penolak Serangan Hama

Pembelinya justru kebanyakan orang dewasa yang berasal dari Buleleng karena lebih familiar dengan es tuak manis. Sedangkan orang yang di luar Buleleng belum lumrah karena dipikir  memabukkan.  Meski, jualan di depan sekolah, pelanggannya bukan anak sekolah. Walau diakui ada satu atau orang pelajar yang beli tapi hanya untuk mencoba. “Karena belum lumrah ya banyak yang beli orang dewasa saja. Dan asli Buleleng biasanya. Kalau anak sekolah hanya satu atau dua orang,” ujarnya. Ke depannya, Wikan akan mengembangkan bisnis tuaknya dengan  membuat es krim yang bahannya dari tuak.

Wikan menambahkan, sebelumnya dirinya jualan tuak manis, ternyata dia mantan pekerja migran  bekerja di perkebunan  Jepang. Akhirnya memilih balik ke Bali. “Kerja tiga tahun Jepang perkebunan, saya pikir tidak usah lama-lama lah di Jepang,” tukasnya. (ni kadek novi febriani/rid)

 



Penjual tuak manis dengan  motor biasanya ditemukan di sekitar Buleleng. Ciri khasnya penjual tuak manis dengan jeriken dan ada daun-daun yang dipasang menutup jeriken. Nah, pedagang tuak manis seperti itu juga ada di Denpasar berlokasi di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja, Denpasar.

MADE Wikan Priyan baru dua minggu berjualan tuak manis di Denpasar. Dengan motor matik berwarna putih dia berjualan arak di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja. Pria asal Astina, Buleleng ini setiap hari membawa sekitar 20liter tuak dan dengan waktu berapa jam langsung ludes terjual.

Ia berjualan setiap hari, dari pukul 10.00 pagi sampai siang. Sekitar pukul 13.00 maupun 14.00 tuak manisnya sudah habis terjual. Omzetnya setiap hari rata-rata bisa mengantongi Rp 300 ribu, bahkan sampai Rp 500 ribu.

Penampilan dia berjualan juga berbeda, setiap hari ia berjualan mengenakan topi klangsah yang biasanya dipakai petani. Wikan mendapatkan tuak ini justru dari Bangli bukan Buleleng. Bahan dasarnya dari getah pohon kelapa.  Sangat cocok diminum di saat   cuaca yang panas untuk melepas dahaga. Rasanya ada asam-asamnya dan dingin karena dicampur es batu. “Saya ambil dari Bangli, kebetulan paman kan  penderes kelapa,” ucapnya saat ditemui kemari.

Baca Juga:  Cerita Keluarga Korban Kecelakaan Maut Travel Panca Sari, Keluarga Tak Punya Firasat Buruk

Ada yang membedakan dengan  penjual tuak di Buleleng, Wikan memakai kendi  dan biasanya penjual tuak manis di Buleleng pakai jeriken. Kendi itu adalah tempat tuak.  Tuak yang dia jual tanpa campuran.  Wikan hanya menambahkan es batu dan tuaknya  tanpa dicampur lagi dengan gula atau yang lainnya.  Di samping itu juga ada pilihan dicampur dengan loloh. “Kalau mau campur loloh 1: 1 takarannya,” ucap Laki-laki yang berusia 31 tahun ini.

Untuk harga hampir sama. Dengan plastik seharga Rp 5 ribu, dengan botol ukuran Rp 6 ml seharga Rp 13 ribu, dan botol besar 1,5liter Rp 30 ribu. Sedangkan untuk daun yang dipakai sebagai ciri khas adalah daun coklat, katanya berbeda  dengan penjual tuak manis kebanyakan memakai daun kesambi. “Daun ini hanya ciri khas saja, kalau di Buleleng kan biasa pakai daun kesambi kalau saya daun coklat,” ujarnya.

Baca Juga:  Dipasarkan Hingga ke Hotel-hotel, Pandemi, Penjualan Turun 50 Persen

Pembelinya justru kebanyakan orang dewasa yang berasal dari Buleleng karena lebih familiar dengan es tuak manis. Sedangkan orang yang di luar Buleleng belum lumrah karena dipikir  memabukkan.  Meski, jualan di depan sekolah, pelanggannya bukan anak sekolah. Walau diakui ada satu atau orang pelajar yang beli tapi hanya untuk mencoba. “Karena belum lumrah ya banyak yang beli orang dewasa saja. Dan asli Buleleng biasanya. Kalau anak sekolah hanya satu atau dua orang,” ujarnya. Ke depannya, Wikan akan mengembangkan bisnis tuaknya dengan  membuat es krim yang bahannya dari tuak.

Wikan menambahkan, sebelumnya dirinya jualan tuak manis, ternyata dia mantan pekerja migran  bekerja di perkebunan  Jepang. Akhirnya memilih balik ke Bali. “Kerja tiga tahun Jepang perkebunan, saya pikir tidak usah lama-lama lah di Jepang,” tukasnya. (ni kadek novi febriani/rid)

 


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru