Penjual tuak manis dengan motor biasanya ditemukan di sekitar Buleleng. Ciri khasnya penjual tuak manis dengan jeriken dan ada daun-daun yang dipasang menutup jeriken. Nah, pedagang tuak manis seperti itu juga ada di Denpasar berlokasi di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja, Denpasar.
MADE Wikan Priyan baru dua minggu berjualan tuak manis di Denpasar. Dengan motor matik berwarna putih dia berjualan arak di depan SMAN 7 Denpasar, Jalan Kamboja. Pria asal Astina, Buleleng ini setiap hari membawa sekitar 20liter tuak dan dengan waktu berapa jam langsung ludes terjual.
Ia berjualan setiap hari, dari pukul 10.00 pagi sampai siang. Sekitar pukul 13.00 maupun 14.00 tuak manisnya sudah habis terjual. Omzetnya setiap hari rata-rata bisa mengantongi Rp 300 ribu, bahkan sampai Rp 500 ribu.
Penampilan dia berjualan juga berbeda, setiap hari ia berjualan mengenakan topi klangsah yang biasanya dipakai petani. Wikan mendapatkan tuak ini justru dari Bangli bukan Buleleng. Bahan dasarnya dari getah pohon kelapa. Sangat cocok diminum di saat cuaca yang panas untuk melepas dahaga. Rasanya ada asam-asamnya dan dingin karena dicampur es batu. “Saya ambil dari Bangli, kebetulan paman kan penderes kelapa,” ucapnya saat ditemui kemari.
Ada yang membedakan dengan penjual tuak di Buleleng, Wikan memakai kendi dan biasanya penjual tuak manis di Buleleng pakai jeriken. Kendi itu adalah tempat tuak. Tuak yang dia jual tanpa campuran. Wikan hanya menambahkan es batu dan tuaknya tanpa dicampur lagi dengan gula atau yang lainnya. Di samping itu juga ada pilihan dicampur dengan loloh. “Kalau mau campur loloh 1: 1 takarannya,” ucap Laki-laki yang berusia 31 tahun ini.
Untuk harga hampir sama. Dengan plastik seharga Rp 5 ribu, dengan botol ukuran Rp 6 ml seharga Rp 13 ribu, dan botol besar 1,5liter Rp 30 ribu. Sedangkan untuk daun yang dipakai sebagai ciri khas adalah daun coklat, katanya berbeda dengan penjual tuak manis kebanyakan memakai daun kesambi. “Daun ini hanya ciri khas saja, kalau di Buleleng kan biasa pakai daun kesambi kalau saya daun coklat,” ujarnya.
Pembelinya justru kebanyakan orang dewasa yang berasal dari Buleleng karena lebih familiar dengan es tuak manis. Sedangkan orang yang di luar Buleleng belum lumrah karena dipikir memabukkan. Meski, jualan di depan sekolah, pelanggannya bukan anak sekolah. Walau diakui ada satu atau orang pelajar yang beli tapi hanya untuk mencoba. “Karena belum lumrah ya banyak yang beli orang dewasa saja. Dan asli Buleleng biasanya. Kalau anak sekolah hanya satu atau dua orang,” ujarnya. Ke depannya, Wikan akan mengembangkan bisnis tuaknya dengan membuat es krim yang bahannya dari tuak.
Wikan menambahkan, sebelumnya dirinya jualan tuak manis, ternyata dia mantan pekerja migran bekerja di perkebunan Jepang. Akhirnya memilih balik ke Bali. “Kerja tiga tahun Jepang perkebunan, saya pikir tidak usah lama-lama lah di Jepang,” tukasnya. (ni kadek novi febriani/rid)