Tidak semua yang diperbarui itu bakal menjadi baik. Karena bila dilakukan tidak sesuai pakem menghilangkan esensi, justru akan mengacaukan. Seperti seni Calonarang yang diperbarui oleh sejumlah seniman untuk memenuhi cita rasa masyarakat pembaruan yang dilakukan para penyelenggara. Ini rentan menimbulkan penyimpangan nilai-nilai (kebablasan). Terutama terhadap Calonarang sebagai seni pengruwatan (pemarisudha).
SELAMA ini seni pertunjukan Calonarang dikenal dengan ilmu hitam. Itu merupakan ilmu hitam simbolis, kini menjadi pertunjukan seni kekebalan yang sedikit vulgar (show off “orang-orang sakti).
Tokoh masyarakat banyak yang khawatir adanya perubahan seni Calonarang. Beberapa contoh cerita Calonarang (penyalonarangan): Kautus Rarung, Tanting Mas, Katundung Ratna Mangali, Bahula Duta, Dayu Datu dan Pengesengan Bingin.
Ketua Harian MKB Provinsi Bali, Prof. I Komang Sudirga, dalam keterangannya seusai acara mengatakan bahwa dari FGD ini diharapkan mendapatkan masukan -masukan dari peserta terkait sudut pandang seni pergelaran Calonarang agar tidak melenceng dari nilai -nilai kesakralan.
“Keseimbangan nilai-nilai sakral religius dan sandining lango sebagai poros kemanunggalan “yoga estetis” mesti tetap dipertahankan. Dengan demikian seni pertunjukan Calonarang tetap menjadi seni tontonan yang sarat tuntunan,” ungkap Prof. Sudirga saat Focus Group Discussion (FGD) Seni Pertunjukan Calonarang, yang digelar Majelis Kebudayaan Bali (MKB) tingkat provinsi Bali, di Kantor Disbud Provinsi Bali, Jumat (3/3/2023).
Untuk menyikapi hal tersebut, FGD ini mencari rumusan untuk menjaga nilai -nilai penyalonarangan dengan menghadirkan dua narasumber masing –masing budayawan, Prof. I Wayan Dibia (budayawan) dan akademisi, I Komang Indra Wirawan Calonarang), dengan peserta para budayawan, seniman, sanggar , akademisi serta perwakilan dinas kebudayaan kabupaten / kota Se- Bali.
Fenomen Calonarang dirasakan ada penyimpangan, untuk itu sesuai amanat Perda No 4, tentang Penguatan dan Pemajuan Kebudayaan, para pemegang kebijakan menekankan penyajian Calonarang tetap sesuai teks sastra, tatwa dan srada. Agar calonarang ini menjadi tuntunan yang benar di masyarakat.
“Para narasumber menjelaskan, Calonarang itu ada yang klasik, pembaruan, prembon, bondres, disamping itu ada fenomena yang tidak lepas dari aspek religiusnya. Aspek tatwa dan srada yang perlu dikembalikan pada esensi hubungan religi pada seni itu sendiri. Harapanya dengan masukan dari para peserta ini kita akan inventarisasi terus dibuatkan panduan dan akan kami distribusikan di masing- masing desa pakraman sebagai acuan, agar pihak penyelenggaran utamanya di mana pementasan ini digelar, sebagai pertunjukan sakral yang memiliki ruang tertentu dan tidak sembarangan,” terangnya.
Prof. Sudirga menambahkan, dalam FGD kali ini telah mendapat masukan serta merumuskan, seiring pesatnya teknologi informasi maka perubahan sikap secara kultural, sosial, dan spiritual telah melanda seni pertunjukan Bali tak terkecuali seni Calonarang sebagai seni pertunjukan klasik yang mengalami banyak perubahan baik bentuk, kandungan, dramatik, dan tata penyajian.
Perubahan Calonarang melalui pembaharuan dan pembauran bentuk berakibat pada pembauran identitas Calonarang. Dominasi Calonarang mondres telah menurunkan keagungan dramatari calonarang yang cenderung menjadi seni sekuler menghibur. Dominasi demonstrasi kekebalan pada semua jenis pertunjukan Calonarang menimbulkan benturan antara atraksi teatrikal simbolis dengan aksi-aksi realis.
Dalam mensinergikan antara kreativitas dengan religiusitas menjadi sangat penting artinya bebas berkreativitas tanpa kehilangan pakem sebagai sumber nilai. Etika nebek (menikam) rangda di “terajang” mesti ditabukan karena tempat ketinggian titi gangsa tersebut sebagi simbol Gunung Kailasa.
Rangda boleh ditikam ketika turun ke pertiwi dan itupun sudah didahului dengan pengruwakan seperti menebang pohon papaya dan sebagainya.
“Seniman, pemangku kepentingan (stakeholders) mesti memiliki kesadaran terhadap idealisme keluhuran seni Calonarang agar seni tetap bertaksu, dan tidak larut dalam selera pasar dan godaan kepentingan material,” tandas Komang Sudirga.
Salah satu narasumber Komang Indrawan (Mang Gases) menekankan, seni pertunjukan Calonarang perlu bagaiamana tata kelola penyajian yang benar.
“Seperti apa pepeson, pengawak, pengecet, pemegat, klasik atau modern. Kita harapkan si pelaku, penonton, penyelenggara, prajuru, pemegang kebijakan, apabila terjadi penistaan budaya atau agama siapa yang bertindak, jadi PHDI, MKB, MDA harus bersinergi,” tegasnya. [ni kadek novi febriani/radar bali]