27.6 C
Denpasar
Friday, March 31, 2023

Susahnya Menampilkan Seni Budakeling; Tak Ada yang Sesuai Pakem 

DENPASAR, radarbali.id–  Seni yang nyaris punah ditampilkan  di acara bincang budaya dengan tema “Menggaungkan Kembali Yang Punah” diselenggarakan Indonesia , di Masa-Masa, Ketewel, Gianyar, kemarin (11/3). Salah satu kesenian yang sangat jarang dibawakan, seperti Gambuh Budakeling berasal dari Karangasem. Tarian ini sangat susah dibawakan karena paduan gerakan, olah vokal dan juga pengaturan nafas.

Gambuh Budakeling ini adalah drama tarian klasik berasal dari Desa Budakeling, Karangasem. Tarian ini biasa ditampilkan di istana  Kerajaan Karangasem. Diperkirakan gerak-gerak tarian ini dipengaruhi Zaman Majapahit sekitar abad ke-16 sehingga gerakannya mirip dengan Jawa.

” Yang Budakeling adanya berdiri abad ke 16 itu yang bisa kami lacak. Kedatangan Danghyang Astapaka dalam rangka di Waturenggong Kerajaan bisa dilacak di sana.” Ida Ayu  Wayan Arya Satyani, narasumber dalam diskusi tersebut. Dayu Ani juga sekaligus meneliti Gambuh Budakeling untuk disertasinya.

Gambuh ini dalam dunia kesenian ini  ada dan hilang. Sempat kembali dimainkan tahun sekitar tahun 1920 atau 1930-an. Kemudian hilang karena pengaruh perang dunia, bencana gunung meletus, dilanjutkan  Gestapu (Gerakan September 30). “Kerajaan biasa jadi pelindung gambuh beralih jadi republik itu yang membuat terputus,” ucapnya. Direkonstruksi kembali dibangkitkan tahun 1970-an atas inisiatif Ida Wayan Oka Granoka. Susahnya menarikan gambuh Budakeling sampai banyak yang menyerah. Sebab, tidak hanya memerlukan  gerakan tubuh yang lentur tapi harus memiliki takeh.  Bahkan, saat dilakukan seleksi tahun 1970-an hanya meloloskan empat orang, dan yang lainnya dianggap belum mampu.

Baca Juga:  Olok-olok Premanisme di Panggung Bondres

Menurut Dayu Ani-sapaanya-,  Gambuh Budakeling masuk tarian Bebali  jarang ditampilkan karena biasanya untuk orang  mesesangi  (kaul) berbeda dengan gambuh lainnya yang ditampilkan setiap upacara. ” Tidak ada keberlanjutan tidak seperti Gambuh Pedungan ada setiap upacara. Sebelumnya ISI Denpasar melakukan rekonstruksi gambuh itupun takehnya  belum ada,” terangnya.

Saking susahnya, pinisepuh bernama Ida Wayan Lantik Ude   sampai menurunkan standar menarikan gambuh ini.  Membangkitkan semangat generasi saat ini menarikan tarian klasik, Dayu Arya memadukan dengan gerakan tarian sufi.

Harapannya dengan mengembangkan gambuh ini anak-anak tidak jenuh tanpa melupakan pakem tarian Gambuh Budakeling. Untuk melestarikan Gambuh Budakeling harus ada dorongan dari pemerintah secara intens. Meski, sudah ada pagelaran-pagelaran seni dan budaya  setiap satu tahun sekali, seperti Pesta Kesenian Bali (PKB)

Baca Juga:  Juli Sastrawan Lepas Antologi Cerpen Pertama; Lelaki Kantong Sperma

Sementara itu, Founder Indonesia Gaya Gayatri Wibisono mengatakan Indonesia Gaya adalah gerakan menjaga negeri di bidang alam, budaya, kerajinan. Yang awalnya hanya pembinaan kerajinan di daerah di bidang kerajinan aksesoris rumah dan interior tahun 2010.

Kemudian meluas ke gerakan jaga alam dan budaya. Karena bagaimanapun ketiga hal itu, alam, budaya dan kerajinan adalah tiga kekayaan negeri yang saling terkait yang harus dijaga. “Tujuan acara ini adalah bersama kita jaga negeri untuk saling mengingatkan terutama tertuju pada generasi muda agar tetap tahu cerita budaya sehingga tidak lupa akar,” ucapnya.

Lebih lanjut, dijelaskan negeri ini memiliki budaya yang teramat banyak ragamnya. Bayangkan jika satu persatu budaya hilang, karena sudah tidak ada lagi yang mau membawakan bahkan tidak juga diingat atau diperhatikan lagi. Satu persatu budaya lupa untuk diceritakan, hingga akhirnya tenggelam.

Bincang budaya yang diselenggarakan hari ini membahas tarian dan alat musik di Bali yang sudah punah, yang bahkan orang Balinya sendiri tidak tahu karena tidak pernah dibawakan lagi. (feb/rid)



DENPASAR, radarbali.id–  Seni yang nyaris punah ditampilkan  di acara bincang budaya dengan tema “Menggaungkan Kembali Yang Punah” diselenggarakan Indonesia , di Masa-Masa, Ketewel, Gianyar, kemarin (11/3). Salah satu kesenian yang sangat jarang dibawakan, seperti Gambuh Budakeling berasal dari Karangasem. Tarian ini sangat susah dibawakan karena paduan gerakan, olah vokal dan juga pengaturan nafas.

Gambuh Budakeling ini adalah drama tarian klasik berasal dari Desa Budakeling, Karangasem. Tarian ini biasa ditampilkan di istana  Kerajaan Karangasem. Diperkirakan gerak-gerak tarian ini dipengaruhi Zaman Majapahit sekitar abad ke-16 sehingga gerakannya mirip dengan Jawa.

” Yang Budakeling adanya berdiri abad ke 16 itu yang bisa kami lacak. Kedatangan Danghyang Astapaka dalam rangka di Waturenggong Kerajaan bisa dilacak di sana.” Ida Ayu  Wayan Arya Satyani, narasumber dalam diskusi tersebut. Dayu Ani juga sekaligus meneliti Gambuh Budakeling untuk disertasinya.

Gambuh ini dalam dunia kesenian ini  ada dan hilang. Sempat kembali dimainkan tahun sekitar tahun 1920 atau 1930-an. Kemudian hilang karena pengaruh perang dunia, bencana gunung meletus, dilanjutkan  Gestapu (Gerakan September 30). “Kerajaan biasa jadi pelindung gambuh beralih jadi republik itu yang membuat terputus,” ucapnya. Direkonstruksi kembali dibangkitkan tahun 1970-an atas inisiatif Ida Wayan Oka Granoka. Susahnya menarikan gambuh Budakeling sampai banyak yang menyerah. Sebab, tidak hanya memerlukan  gerakan tubuh yang lentur tapi harus memiliki takeh.  Bahkan, saat dilakukan seleksi tahun 1970-an hanya meloloskan empat orang, dan yang lainnya dianggap belum mampu.

Baca Juga:  Balawan Masuk Apresiasi Majalah Musik Jepang

Menurut Dayu Ani-sapaanya-,  Gambuh Budakeling masuk tarian Bebali  jarang ditampilkan karena biasanya untuk orang  mesesangi  (kaul) berbeda dengan gambuh lainnya yang ditampilkan setiap upacara. ” Tidak ada keberlanjutan tidak seperti Gambuh Pedungan ada setiap upacara. Sebelumnya ISI Denpasar melakukan rekonstruksi gambuh itupun takehnya  belum ada,” terangnya.

Saking susahnya, pinisepuh bernama Ida Wayan Lantik Ude   sampai menurunkan standar menarikan gambuh ini.  Membangkitkan semangat generasi saat ini menarikan tarian klasik, Dayu Arya memadukan dengan gerakan tarian sufi.

Harapannya dengan mengembangkan gambuh ini anak-anak tidak jenuh tanpa melupakan pakem tarian Gambuh Budakeling. Untuk melestarikan Gambuh Budakeling harus ada dorongan dari pemerintah secara intens. Meski, sudah ada pagelaran-pagelaran seni dan budaya  setiap satu tahun sekali, seperti Pesta Kesenian Bali (PKB)

Baca Juga:  Bila Stephan Spicher “Menghidupkan” Mendiang Made Wianta di “Between Chaos and Form”

Sementara itu, Founder Indonesia Gaya Gayatri Wibisono mengatakan Indonesia Gaya adalah gerakan menjaga negeri di bidang alam, budaya, kerajinan. Yang awalnya hanya pembinaan kerajinan di daerah di bidang kerajinan aksesoris rumah dan interior tahun 2010.

Kemudian meluas ke gerakan jaga alam dan budaya. Karena bagaimanapun ketiga hal itu, alam, budaya dan kerajinan adalah tiga kekayaan negeri yang saling terkait yang harus dijaga. “Tujuan acara ini adalah bersama kita jaga negeri untuk saling mengingatkan terutama tertuju pada generasi muda agar tetap tahu cerita budaya sehingga tidak lupa akar,” ucapnya.

Lebih lanjut, dijelaskan negeri ini memiliki budaya yang teramat banyak ragamnya. Bayangkan jika satu persatu budaya hilang, karena sudah tidak ada lagi yang mau membawakan bahkan tidak juga diingat atau diperhatikan lagi. Satu persatu budaya lupa untuk diceritakan, hingga akhirnya tenggelam.

Bincang budaya yang diselenggarakan hari ini membahas tarian dan alat musik di Bali yang sudah punah, yang bahkan orang Balinya sendiri tidak tahu karena tidak pernah dibawakan lagi. (feb/rid)


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru