Banjar Adat Jagasatru, Desa Adat Kediri ,Tabanan, telah memutuskan untuk tidak menggelar pawai ogoh-ogoh. Namun mereka warga banjar tiga hari sebelum pengerupukan Nyepi dilakukan melaksanakan tradisi Tektekan.
HARI Rabu malam (15/3/2023), sekitar pukul 19.00, Jalan MH. Thamrin Kediri Tabanan tampak ramai didatangi oleh warga Desa Adat Kediri. Mereka yang datang untuk melihat sebuah tradisi Tektekan yang digelar oleh Banjar Adat Jagasatru Kediri Tabanan.
Tradisi tektekan itu dimainkan oleh kelompok orang tua, kelompok ibu hingga anak. Dengan alat musik yang digunakan kleneng, kul-kul, tempeh, beduk, kendang, ceng-ceng reong dan kempul.
“Tradisi Tektekan ini sebenarnya digelar, setelah dari Desa Adat Kediri Tabanan memutuskan untuk tidak menggelar pawai ogoh-ogoh saat Nyepi Caka 1945,” ungkap Ketua Manggala Banjar Adat Jagasatru Desa Adat Kediri I Dewa Ketut Oka, disela-sela kegiatan tradisi tektekan, Rabu malam.
Dia menjelaskan tektekan ini adalah tradisi sakral yang ada di Desa Adat Kediri. Dan ini sudah dilakukan secara turun temurun.”Saya waktu SD sekitar tahun 1970-an sudah ada tradisi tektekan ini, bahkan diperkirakan ada sejak ada leluhur kami,” aku Dewa Oka.
Meski saat ini tradisi Tektekan telah disakralkan, namun ia tak menampik telah banyak dari berbagai Desa di luar Desa Kediri yang mengikuti tradisi ini. Yakni Desa Pejaten dan Desa Pandak.
“Khusus di Desa Adat Kediri, tradisi tektekan telah ada dan dilaksanakan oleh lima banjar dari tujuh banjar dinas,” ucapnya.
Tradisi Tektekan ini digelar tujuannya adalah nakluk merana. Yakni memberantas penyakit dan bhuta kala yang ada di desa, karena dulu dasarkan tektekan ini tidak untuk menyambut Nyepi.
Dulunya bilamana ada musibah dan banyak dari warga yang sakit. Baru dilaksanakan tradisi Tektekan itu. Tetapi sebelum tradisi ini digelar istilahnya muncul tanda-tanda atau ciri-ciri dengan adanya warga yang melihat makhluk besar menyeramkan, melihat hal gaib dan hal-hal aneh di desa.
“Nah, untuk mengusir itu, mulailah warga dan orang dulu membunyikan atau memukul apa saja. Salah satunya membunyikan kentungan, kul-kul. Namun seiring berjalan waktu lebih banyak alat musik yang dimainkan dari tradisi ini,” terangnya.
Ditambahkan Dewa Oka, sejatinya Desa Adat Kediri Tabanan pernah melaksanakan pawai ogoh-ogoh sekitar tahun 2000an , tetapi apa yang terjadi menghilang bhuta kala, malah datang bhuta kala kembali. Sehingga tradisi tektekan kembali digelar warga.
Tradisi tekkan ini sama tujuan dengan pawai ogoh-ogoh yakni mengusir bhuta kala yang ada di desa.
Sebelumnya tradisi tektekan dilakukan warga melaksanakan upacara matur piuning, setelah itu pembersihan ke biji bingin untuk meminta restu. Baru selanjutnya tradisi tektekan dilakukan dimulai dari patung Wisnu Murti di Jalan By Pass Ir. Soekarno dan keliling desa.
Kendati sudah ada dari dulu tradisi Tektekan, saat ini bukan hanya menjadi sebuah tradisi yang dijalankan warga semata, melainkan sebagai perekat hubungan kebersamaan warga di Banjar.
“Ya, salah satu warga bisa berkumpul guyub bersama memainkan tradisi ini. Bahkan khusus kelontong sama sebagai alat musik. Nyaris setiap KK di Banjar Adat jagasatru memiliki,” pungkasnya. [juliadi/radar bali]