STT Acarya Perkasa, Banjar Blungbang, Penarungan, Mengwi Badung tergolong konsisten membikin ogoh-ogoh yang ramah lingkungan. Pada perayaan Pengerupukan dan Nyepi tahun ini, mereka kembali membikin ogoh-ogoh yang serba ramah lingkungan, bahkan untuk cat pewarnanya dari getah dan daun pohon.
SAAT bertandang ke Banjar Blungbang. Pembuatan ogoh-ogoh ini berkolaborasi dengan Sanggar Seni Rupa Zaba Cukka yang juga berada di banjar setempat.
Pembuatan ogoh-ogoh ini mengambil dua lokasi. Untuk pembuatan ogoh-ogoh mulai dari rangka sampai finishing dilakukan di Sanggar Zaba Cukka lokasinya juga tak jauh dari Bale Banjar Blungbang.
Sementara untuk di Bale Banjar dilangsungkan pembuatan tatakan ogoh-ogoh. Ketika memasuki areal sanggar, sudah tampak sejumlah pemuda tampak sibuk untuk mengerjakan ogoh-ogoh tersebut.
Ogoh-ogoh ini mengambil tema Mahakala Bhairawa. Menariknya, semua bahan ogoh-ogoh ini ternyata menggunakan bahan ramah lingkungan. “ Kami kembali ingin konsisten membuat karya seni yang ramah lingkungan. Karena kampanye untuk lingkungan hidup harus terus dijalankan dan dijalani,” terang I Gede Agustinus Darmawan konsep ogoh-ogoh tersebut.
Pengerjaan ogoh-ogoh ini baru dimulai akhir Januari 2023 lalu. Mereka mengalami dengan membuat rangka dengan menggunakan bambu. Kemudian bambu itu diikat dengan tali rumput dan tali bambu. Hal ini i untuk mempercepat proses pengerjaan.
Kemudian, dilanjutkan pembuatan body atau badan ogoh-ogoh dari anyaman bambu. Bilahan bambu diikat dulu dan baru dilakukan penganyaman. Setelah itu pembentukan otot menggunakan kertas koran bekas, baru terakhir ditempel dengan kertas daur ulang.
“Kertas daur ulang ini tergolong baru kami aplikasikan. Kami membuat kertas daur ulang sendiri dengan mengolah kardus bekas. Caranya kardus dihancurkan dan olah hingga menjadi bubur kertas, setelah jadi bubur baru kita cetak saring. Kemudian dikeringkan. Setelah menjadi kertas berwarna coklat baru bisa aplikasikan. Karena pembuatan ogoh-ogoh ini tujuannya adalah edukasi,” beber pria yang akrab dipanggil Timbool ini.
Lebih lanjut, kalau semua body ogoh-ogoh selesai dikerjakan baru dilanjutkan pengecatan. Nah, pada pengecatan ini mereka menggunakan pewarna alami dari getah, daun dan kulit kayu. Seperti warna putih menggunakan getah pohon nyantuh (Palaquium rostratum).
Kemudian warna hitam dari daun pohon ketapang (Terminalia catappa), warna coklat dari daun pohon mahoni 9 Meliaceae), warna merah dari akar mengkudu (Morinda citrifolia), warna hijau dan kuningan dengan daun daun dan kulit batang pohon mangga.
Sementara untuk biru warna alam indigo dari tanaman Strobilanthes cusia dengan metode fermentasi daun dan batang Strobilanthes cusia beberapa jam diikuti oleh oksidasi.
“Untuk pewarna semuanya menggunakan bahan alami. Prosesnya daun dicincang direbus dan baru diaplikasikan, kecuali Strobilanthes cusia harus direndam dulu,” terang pimpinan dari Sanggar Seni Rupa Zaba Cukka ini.
Kemudian, setelah semua proses pengecatan selesai dilanjutkan pemasangan rambut. Rambut ini berbahan dari praksok yang diwarnai dengan warna alami hitam. Semuanya selesai dilanjutkan mengisi dengan hiasan ornamen. Bahkan hiasan ornamen ini juga dari bahan daur ulang yakni aluminium foil bungkus rokok bekas warna emas.
Memang, hingga Rabu (22/2/2023) ogoh-ogoh tersebut belum sepenuhnya selesai, masih dalam tahap penempelan dari kertas daur ulang. “Aluminium foil kita aplikasi dengan diukir, setelah itu baru dipasang. Target ogoh-ogoh ini selesai nanti pada 27 Februari 2023,” ungkapnya.
Sementara konsisten membuat ogoh-ogoh ramah lingkungan ia ingin memberikan edukasi kepada lingkungan anak muda yakni berkarya seni dengan ramah lingkungan. Selain itu, ia menitikberatkan bukan Cuma pada hasilnya saja, terpenting prosesnya.
Sebab, mereka membuat sendiri bahan-bahan alami tersebut. “Harapana kami melalui ogoh-ogoh ini pesan yang disampaikan bisa masuk kepada generasi muda,” pungkasnya. [made dwija putra/radar bali]