SINGARAJA– Kabupaten Buleleng punya tradisi yang sangat beragam menjelang dan setelah hari raya Nyepi. Beberapa di antaranya telah dijadikan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB). Tradisi-tradisi itu dilaksanakan jelang hari raya Nyepi, tepatnya pada saat pengerupukan dan setelah hari raya nyepi atau saat ngembak geni.


Saat pengerupukan yang jatuh pada Selasa (21/3) lalu misalnya. Krama istri yang ada di Desa Adat Pumahan melakukan tradisi ngoncang. Tradisi itu sebenarnya seperti menumbuk padi dengan lesung. Hanya para krama istri yang melakukan tradisi di di Balai Desa Adat Pumahan.
Bendesa Adat Pumahan Made Rida mengatakan, tradisi itu sebenarnya sudah ada sejak dulu. Hanya saja karena pergeseran perilaku saat panen, kebiasaan menumbuk padi telah ditinggalkan. Proses panen berganti dengan bantuan mesin. Tak heran lama kelamaan tradisi itu mulai ditinggalkan.
Kini desa adat kembali melestarikan tradisi tersebut. Tepat saat tilem kesanga pada Selasa (21/3) lalu, desa adat melaksanakan kembali tradisi tersebut. “Kami ingin mengingatkan lagi pada seluruh warga, bahwa tradisi ini sudah ada sejak turun temurun. Jadi harus kita lestarikan kembali,” kata rida.
Untuk tahap awal tradisi itu dilaksanakan dua kali dalam sebulan, yakni setiap rahina purnama dan tilem. “Kami berusaha lestarikan dan ajak krama istri supaya mereka tetap ingat dengan kegiatan ini. Biar diikuti dengan generasi selanjutnya,” kata Rida.
Tradisi serupa juga dilaksanakan di Banjar Adat Pakraman Paketan, Desa Adat Buleleng. Dulunya tradisi itu dilaksanakan setiap ngerupuk di simpang tiga banjar adat. Namun tahun ini ngoncang dikemas dalam bentuk perlombaan. Total ada sembilan tim yang ikut ambil bagian.
Prajuru Banjar Adat Paketan, I Putu Gede Mertha mengatakan, ngoncang sudah dilaksanakan sejak dulu. Selain digunakan untuk menumbuk padi, biasanya digunakan untuk kelengkapan upacara khususnya untuk nyomia bhuta kala. “Budaya ini menurut hasil penelusuran kami kepada para tetaua kami dulu sudah ada sejak tahun 1876,” kata Mertha.
Dulunya hampir setiap keluarga memiliki lesung penumbuk padi. Tapi seiring berjalannya waktu, jumlahnya terus berkurang dan kini hanya tersisa sebanyak 14 buah. Dari 14 buah itu, hanya 13 buah yang bisa digunakan rutin. Sementara sebuah lainnya tak diizinkan digunakan untuk kegiatan lain, selain menumbuk padi.
Sementara itu di Desa Adat Padangbulia dilaksanakan tradisi meamuk-amukan saat pengerupukan. Selama ini Desa Adat Padangbulia tak pernah menyelenggarakan arak-arakan ogoh-ogoh. Jauh sebelum tradisi ogoh-ogoh dilaksanakan, krama lanang di sana melakukan amuk-amukan atau perang api.
Sekitar pukul 19.00 saat hari semakin gelap, krama akan berkumpul sambil membawa daun kelapa kering. Daun tersebut dinyalakan dengan api, kemudian setiap karma lanang akan mencari lawan masing-masing. Mereka akan memukulkan daun kelapa itu, hingga muncul percikan api.
Bendesa Adat Padangbulia I Gusti Ketut Semara mengungkapkan, tradisi itu bermakna meredam amarah atau hawa nafsu yang timbul dari dalam diri. “Bagaimana kita sebagai umat bisa melaksanakan catur brata penyepian, mengekang hawa nafsu dalam diri. Nah amuk-amukan itu simbil dari memadamkan api amarah yang ada dalam diri sendiri,” kata Semara.
Menurutnya, bila masyarakat awam melihat tradisi itu mereka memandang bahwa tradisi itu seperti pertarungan. Padahal bila karma melaksanakan tradisi itu, mereka melakukannya dengan gembira. Karma sendiri tak pernah takut terkena api, karena diyakini hanya menimbulkan efek luka bakar ringan.
Sementara itu di Kecamatan Banjar, masyarakat punya tradisi yang tak kalah unik. Mereka melakukan tradisi nyakan diwang. Sesuai arti namanya, nyakan diwang dilakukan dengan cara memasak di luar halaman rumah atau di pinggir jalan raya. Tradisi itu hanya dilaksanakan saat ngembak geni.
Di Desa Kayuputih, Kecamatan Banjar misalnya. Krama sudah bersiap melakukan nyakan diwang sejuak pukul 02.00 Kamis (23/3) dini hari. Mereka menyiapkan beberapa alat-alat masak serta membuat tungku di tepi jalan raya.
Selanjutnya mereka memasak berbagai menu makanan. Makanan yang sudah jadi kemudian diberikan ke tetangga di sekitar rumah. “Saling bertukar makanan. Jadi ruang untuk silaturahmi juga. Setahu saya, kalau nyakan diwang semua pasti pakai tungku dan kayu bakar, tidak ada yang pakai kompor gas,” katanya. (eps)