DENPASAR– Jaksa penyidik Kejati Bali terus mengebut pemberkasan kasus dugaan korupsi aset tanah negara di Dauh Pala, Desa Dauh Peken, Tabanan.
Jaksa penyidik dikejar waktu mengingat tiga bulan lagi tahun 2021 berakhir. Sementara Kejagung RI memberikan warning agar tidak ada tunggakan kasus. Penyidikan kasus korupsi mesti tuntas sebelum tahun berganti.
“Pimpinan meminta (pemberkasan) kasus selesai sebelum ganti tahun. Kami diminta memberikan kepastian, kasus lanjut atau tidak,” ujar Kasi Penkum Kejati Bali, A. Luga Harlianto dikonfirmasi kemarin (3/10).
Luga menjelaskan, hingga saat ini jaksa penyidik masih merampungkan pemberkasan. Hanya saja jaksa penyidik masih terkendala kerugian negara hasil penghitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Wilayah Bali.
Menurut Luga, draf kerugian negara yang dikirim ke BPKP beberapa bulan lalu belum keluar. Hasil penghitungan internal Kejati Bali, kerugian negara mencapai Rp14,6 miliar.
Meski penyidik sudah mendapat hasil kerugian negara hasil perhitungan internal, hasil penghitungan kerugian negara dari BPKP ini sangat penting untuk dijadikan salah satu alat bukti sah dalam persidangan.
Jaksa penyidik ingin mendapat kerugian secara detail. “Kalau perbuatan melawan hukum kami sudah dapatkan. Sekarang kurang penghitungan kerugian negara dari BPKP saja,” tukas jaksa berdarah Batak itu.
Ditanya penyebab BPKP lama mengeluarkan hasil aduit, Luga mengaku tidak tahu persis. Pihaknya tidak bisa mengintervensi BPKP karena beda instansi. “Kami hanya bisa menunggu,” tukasnya.
Ditambahkan, setelah ada hasil kerugian negara dari BPKP, maka pemberkasan bisa dikatakan final. Selanjutnya jaksa penyidik melakukan ekspose bersama ahli dari BPKP dan jaksa penuntut umum. Jika berkas dinilai kurang, maka jaksa penyidik akan kembali memanggil tersangka untuk dimintai keterangan tambahan.
Dijelaskan Luga, kasus di Tabanan dibagi menjadi tiga berkas. Penyidikan dimulai akhir 2020. Tanah tersebut merupakan tanah pemberian dari Gubernur Bali untuk Kejaksaan Agung Cq Kejaksaan Tinggi Bali, untuk digunakan sebagai kantor dan rumah dinas Kejari Tabanan sejak1974. “Status tanah tersebut merupakan tanah negara sejak Desember 1968,” tutur Luga.
Pada tanah tersebut telah dibangun kantor dan rumah dinas. Selanjutnya, pada 1997 Kantor Kejari Tabanan pindah ke lokasi saat ini, di Jalan PB Sudirman. Nah, setelah kantor Kejari Tabanan pindah, keluarga dari tersangka IKG, PM dan MK mengklaim bahwa tanah tersebut adalah miliknya.
Mereka lantas mendirikan bangunan secara bertahap berupa kos-kosan yang saat ini dikelola oleh IKG, PM dan MK. Ketiga orang ini juga telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Bali.
Selanjutnya pada 1999 terdapat keluarga WS, NM dan NS yang membangun rumah tinggal sementara di atas tanah tersebut tanpa ada alas hak yang sah bedasarkan peraturan perundang-undangan. Tersangka WS, NM dan NS membangun toko dan mendapatkan hasil sewa dari pemanfaatan aset tanah milik Kejari Tabanan.
Perbuatan keenam tersangka melanggar pasal Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juncto pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP