SINGARAJA–Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) disebut tengah marak terjadi. Bukan hanya menyebabkan kekerasan fisik, tapi juga memicu penelantaran. Jaksa pun memutuskan turun ke desa-desa untuk melakukan langkah pencegahan.
Sejak beberapa bulan terakhir, kasus KDRT di Buleleng memang sedang marak. Puncaknya adalah kasus seorang suami yang membunuh istri dan anak yang masih dalam kandungan. Kasus itu kini bergulir dalam tahap persidangan di Pengadilan Negeri Singaraja.
Kasus itu disebut hanya sebagai puncak gunung es KDRT di Buleleng. Diduga masih banyak kasus KDRT lain, namun tak ada melapor pada aparat berwajib. Sebab KDRT dianggap sebagai masalah domestik rumah tangga dan menjadi aib apabila diumbar pada pihak luar.
Kasi Intel Kejari Buleleng Ida Bagus Alit Ambara Pidada mengungkapkan, kasus tersebut kini tengah menjadi perhatian publik. Sebab banyak kasus yang menjadikan anak-anak dan perempuan sebagai korban. Masalahnya masalah itu tak pernah sampai dalam bentuk laporan kasus pidana.
“Makanya kami sekarang turun ke desa-desa. Melakukan sosialiasi bagaimana mereka menjaga keharmonisan di rumah tangga. Karena dalam kasus KDRT itu, yang jadi korban utama itu jelas anak-anak, dan perempuan,” kata Alit.
Menurutnya dalam kasus KDRT aparat ukum biasanya akan mengedepankan upaya mediasi. Namun mediasi itu hanya menyangkut tindakan-tindakan khusus, yang masuk dalam pidana ringan. “Kalau sampai pencabulan terhadap anak, apalagi pembunuhan, itu tidak mungkin dimediasi,” ujarnya.
Alit menjelaskan dalam konstruksi Undang-Undang KDRT, bukan menitikberatkan pada hukuman. Namun menekankan pada pemulihan harmoni di keluarga. Sebab sanksi secara pidana, justru dapat berdampak sistemik pada keluarga tersebut.
Ilustrasinya, sang suami melakukan penelantaran terhadap istri dan anak-anaknya. Hal itu kemudian berujung pada persidangan. Tak pelak hal itu menimbulkan kerugian, karena sang istri tak mampu mencari nafkah. Di sisi lain sang suami juga tak bisa menafkahi karena menghuni jeruji besi.
“Makanya kalau bisa didamaikan, kami akan damaikan. Jadi hak-hak perempuan dan anak harus terpenuhi. Itu juga tidak serta merta kami damaikan. Tapi kami tanya juga pada keluarga terdekatnya, minta informasi pada tokoh masyarakat. Kalau memang upaya harmonisasi itu tidak bisa terwujud, tentu akan dilanjutkan dengan langkah pidana,” demikian Alit. (eps)