JAKSA penuntut umum (JPU) secara resmi menuntut Eks pentolan Front Pembela Islam Rizieq Shihab dengan hukuman 6 tahun penjara dalam kasus swab test RS UMMI Bogor, Kamis (4/6) lalu.
Sesuai tuntutan, Rizieq oleh JPU dinyatakan telah bersalah karena dianggap terbukti secara sah telah menyampaikan kabar bohong atas kondisi kesehatannya selama dirawat di RS UMMI.
Atas tuntutan HRS itu, banyak yang menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi ulama. Lalu apa tanggapan terkait tuntutan tinggi terhadap HRS? Berikut petikan wawancana antara Jawa Pos Radar Bali dengan Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Dapil Bali I Wayan Sudirta SH.
RIZIEQ Shihab dituntut 6 tahun penjara atas kasus dugaan pemalsuan hasil swab. Bagaimana tanggapan bapak atas kasus ini?
Proses pengadilan yang sekarang sedang berlangsung ini merupakan bentuk dari perwujudan nilai kepastian hukum.
Hal itu untuk memastikan apakah dugaan pemalsuan itu benar dilakukan atau tidak. Kita hormati proses pengadilan yang tengah berjalan ini.
Pengadilan juga dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat dapat memanataunya secara langsung.
Pengadilan pasti mempertimbangkan berbagai macam bukti/fakta dalam mengungkap sebuah kasus.
Apalagi kasus yang disangkakan merupakan dugaan pemalsuan hasil swab.
Dimana perbuatan itu akan sangat memunculkan potensi kerugian bagi masyarakat lain yang melakukan aktifitas bersama RIzieq Shihab.
Jadi terkait tuntutan (6 tahun penjara) saya rasa itu merupakan hal yang biasa dan tidak perlu disikapi secara berlebihan.
Tuntutan merupakan kewajiban tugas dari jaksa setelah mempelajari dan mendalami dugaan perbuatan pemalsuan tersebut.
Banyak yang menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi ulama. Bukankah proses ini seharusnya bisa jadi pelajaran bagi masyarakat agar taat prokes dan mendukung upaya pencegahan Covid-19 pemerintah?
Dalam hukum itu terdapat asas equatily before the law. Asas ini memastikan bahwa semua warga negara memiliki kesamaan dihadapan hukum.
Tidak melihat latar belakang dari tersangkanya siapa. Terkait status sosial tersangka nantinya hanya akan menjadi pertimbangan bagi majelis hakim dalam memutuskan perkara.
Semakin tinggi status sosial seseorang dalam masyarakat, semakin tinggi juga etika sosial masyarakat yang diembannya.
Dalam perkara ini, sebagai tokoh agama yang memiliki pengikut pasti tidak tanduk dan sikapnya akan menjadi cermin bagi pengikutnya.
Untuk itu, pengungkapan perkara dugaan pemalsuan hasil swab ini penting agar jika terbukti bersalah maka masyarakat mendapat pelajaran bahwa perbuatan itu merupakan perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat lainnya.
Dalam kondisi pandemi seperti ini, disiplin terhadap prokes saja tidak menjamin kita lolos dari ancaman covid-19. Apalagi jika budaya tidak disiplin, melanggar prokes, apalagi sampai memalsukan hasil swab merupakan perbuatan yang dapat dikatakan kurang terpuji, apalagi jika dilakukan oleh para tokoh agama seperti Rizieq Shihab.
Bagaimana seharusnya masyarakat merespons proses hukum terhadap Rizieq? Karena kondisi ini dinilai rawan provokasi?
Biar bagaimanapun kita harus tetap menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Kita percaya bahwa pengadilan kita merupakan tempat untuk menegakkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
Tidak sedikit putusan pengadilan yang akhirnya memberikan vonis bebas kepada para tersangka. Pengadilan pasti akan menggali berdasarkan bukti dan fakta dalam persidangan.
Bagi kita masyarakat, yang utama adalah jangan ada pihak manapun yang bersikap arogan terhadap hukum negara.
Apalagi melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan protokol Kesehatan covid-19 ini. Covid-19 ini bukan soal ancaman soal Kesehatan, namun merupakan ancaman bagi hidup-mati orang lain.
Jika kita tidak disiplin atau malah melanggar, maka implikasinya bukan hanya untuk kita saja, tapi akan mengancam hidup-matinya orang lain. (*)