SINGARAJA– Kasus dugaan korupsi pemanfaatan dan hibah Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sektor pariwisata di Buleleng, menuai perhatian banyak pihak.
Termasuk dari kalangan akademisi. Bahkan atas kasus dugaan korupsi yang menyeret 8 (delapan) pejabat termasuk salah satunya kepala Dinas Pariwisata (Dispar), akademisi mendorong agar Pemerintah melakukan perombakan besar-besaran di internal Dinas Pariwisata Buleleng, agar peristiwa serupa tak terulang kembali.
Seperti ditegaskan Sosiolog Universitas Udayan (Unud) Gede Kamajaya.
Akademisi asal Desa Tejakula itu menyebut, aksi korupsi di internal Dinas Pariwisata Buleleng sangat menyakiti masyarakat. Lebih lagi tindak kejahatan itu dilakukan pada masa pandemi.
“Bayangkan saja, situasi sedang sulit seperti ini. Masyarakat sedang sibuk dengan urusan perut, tenaga kesehatan berjibaku menangani covid-19. Tapi mereka malah bancakan anggaran,” ujar Kamajaya pada Jawa Pos Radar Bali, Sabtu (13/3).
Menurutnya tindakan korup yang dilakukan sejumlah pejabat di Dispar Buleleng bukan hanya soal mental.
Namun juga niat dan kesempatan. Ditambah lagi kontrol sosial dari masyarakat sedang lemah dalam kondisi pandemi.
Untuk itu ia mengusulkan agar pemerintah berani mengambil langkah radikal.
Yakni melakukan perombakan besar-besaran di internal Dispar Buleleng. Selain itu pemerintah juga harus membenahi sistem kontrol dan pengawasan internal.
“Selain perombakan besar-besaran, sebetulnya yang tidak kalah penting adalah kontrol. Mulai dari penganggaran, distribusi, sampai pertanggungjawaban. Sekarang sistem kan sudah banyak. sudah ada e-budgeting, ada e-controling, seharusnya mereka tidak main-main lagi,” tegasnya.
Selain itu, Kamajaya juga berharap Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat memasang tuntutan untuk memiskinkan para pejabat tersebut, apabila tindakan mereka memang terbukti bersalah di hadapan pengadilan.
Ia juga mengingatkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mengeluarkan pernyataan bahwa terdakwa kasus korupsi pada masa pandemi, bisa saja dituntut dengan hukuman mati.
“Kalau kata KPK, korupsi anggaran covid tuntutannya kan ngeri-ngeri sedap tuh. Kalau dianggap perlu dengan berbagai pertimbangan hukum dan dibenarkan undang-undang, ya silahkan dipertimbangkan. Itu sudah jadi ranah dan kewenangan dari penuntut umum,” tukasnya.