SEMARAPURA – Pengungkapan kasus dugaan korupsi di LPD Ped, Nusa Penida, Klungkung bisa jadi tak berhenti dengan menetapkan dua tersangka, yakni ketua dan kasi kredit di LPD tersebut.
Tim Penyidik Kejaksaan Negeri Klungkung menegaskan bahwa tersangka dugaan korupsi senilai Rp5 miliar di LPD Ped ini masih bisa bertambah.
Hal itu ditegaskan Kepala Kejaksaan Negeri Klungkung, Shirley Manutede, Kamis (14/10). Sebelumnya dia menyebutkan, saat ini baru ada dua orang yang ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi pada LPD Adat Ped. Yakni I Made Sugama (ketua LPD) dan IGS yang menjabat sebagai seksi kredit.
“Namun tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah. Sebab pemeriksaan saksi-saksi masih berlanjut sehingga bisa terang perkara ini dari saksi-saksi yang ada,” ujar Shirley.
Shirley menyatakan, meski telah ditetapkan sebagai tersangka, keduanya belum ditahan. Itu lantaran pihak Kejari Klungkung masih menunggu hasil audit kerugian negara dari Inspektorat Daerah Kabupaten Klungkung.
Kepala Seksi Pidana Khusus (Kasi Pidsus) Bintarno mengungkapkan, ada sekitar 25 saksi yang dimintai keterangannya berkaitan dengan kasus tersebut. Dia pun menyatakan bahwa tidak menutup kemungkinan jumlah saksi yang dimintai keterangan terus bertambah.
Bahkan Bintarto mengamini pernyataan Kajai Klungkung bahwa jumlah tersangka kasus ini bisa bertambah.
“Tidak menutup kemungkinan, jumlah tersangka juga bertambah,” jelas Bintarto.
Shirley menyebutkan, kedua tersangka diduga melakukan tindakan penyimpangan terhadap pengelolaan anggaran LPD tersebut sehingga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp 5 miliar lebih.
Adapun bentuk penyimpangan penggunaan anggaran LPD Adat Ped yang dilakukan di antaranya, pemberian dana pensiunan setiap bulan yang seharusnya dibayarkan setelah pegawai masuk masa purna tugas.
Begitu juga adanya pemberian komisi, tunjangan kesehatan, biaya Tirta Yatra dan outbound yang pencairannya tidak sesuai aturan.
Tidak sampai di sana, biaya promosi yang seharusnya dipergunakan untuk promosi justru dibagi-bagi.
Selain itu, ada kredit macet sebesar Rp 2,5 miliar. Yang mana modusnya berupa kredit topeng, yakni meminjam uang dengan menggunakan nama orang lain.
“Jadi ada sejumlah penyimpangan penggunaan anggaran yang dilakukan sehingga menimbulkan kerugian sekitar Rp 5 miliar lebih,” timpal Bintarto.
Kedua tersangka dijerat dengan Pasal 2 Ayat (1) UU Tipikor subsider Pasal 3 UU yang sama.