DENPASAR– Setelah tertunda tiga pekan, sidang perdana dengan terdakwa Kepala Dinas Kebudayaan (nonaktif) Kota Denpasar, I Gusti Ngurah Bagus Mataram, 58, akhirnya terlaksana Kamis (18/11) petang pukul 18.00.
Mataram menjalani sidang dari Lapas Kelas IIA Kerobokan, sedangkan pengacara, jaksa, dan majelis hakim berada di Pengadilan Tipikor Denpasar. Yang menarik, meski dijerat pasal berlapis, Mataram tidak mengajukan eksepsi atau keberatan.
“Kami tidak mengajukan eksepsi agar bisa segera melakukan pembuktian,” ujar pengacara Mataram, Komang Sutrisna diwawancarai kemarin usai sidang.
Sementara itu, JPU I Ketut Kartika Widnyana didampingi Jaksa Catur Rianita dalam dakwaan kesatu primer memasang Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam dakwaan subsider JPU memasang Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU yang sama.
Sementara dalam dakwaan kedua, terdakwa kelahiran Denpasar, 31 Desember 1963 itu dijerat Pasal 12 huruf f juncto Pasal 18 ayat (1), (2), dan (3) UU Tipikor juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Mataram diduga melakukan korupsi Bantuan Keuangan Khusus (BKK) pengadaan barang berupa aci-aci dan sesajen untuk desa adat, banjar adat dan subak di wilayah kelurahan se-Kota Denpasar tahun 2019-2020 pada Dinas Kebudayaan Kota Denpasar.
“Terdakwa dikenakan dakwaan alternatif dan subsideritas,” ujar JPU Rianita.
Hakim I Gede Putra Astawa yang memimpin sidang akan melanjutkan sidang pekan depan dengan agenda pembuktian.
Seperti diberitakan sebelumnya, Mataram diduga mengorupsi dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Pemprov Bali dan Kota Denpasar, untuk pengadaan aci-aci dan sesajen, sarana/prasarana upakara tahun 2019-2021.
Sebagai PA (Pengguna Anggaran) dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) Mataram dinilai tidak melaksanakan ketentuan pengadaan barang dan jasa Pemerintah serta pengelolaan keuangan negara atau daerah yang efektif dan efesien.
Selaku PA mengalihkan kegiatan dari pengadaan barang dan jasa menjadi penyerahan uang yang disertai adanya pemotongan fee dari rekanan.
Sementara dalam kapasitasnya selaku PPK tidak membuat rencana umum pengadaan, memecah kegiatan, melakukan penunjukan langsung tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pembuatan dokumen pengadaan fiktif. Akibatnya negara mengalami kerugian Rp1 miliar lebih.