SINGARAJA– Kasus tindak pidana perdagangan orang mencuat di Buleleng. Seorang wanita bernama Ida Susanti alias Ibu Yuni diseret ke pengadilan karena melakukan eksploitasi terhadap calon pekerja migran. Alih-alih mendapat pekerjaan, korban justru dijadikan pekerja seks komersial (PSK) di luar negeri. Ida Susanti pun diseret ke pengadilan atas perbuatannya.
Ida Susanti diduga bersekongkol dengan seorang pria asal Sri Lanka bernama Muhamad Sheik Hanifa dan seorang perempuan lain bernama Nurhayati alias Rara, dalam merekrut wanita yang hendak dipekerjakan sebagai pekerja seks. Kedua nama terakhir kini masih dalam Daftar Pencarian Orang (DPO).
Rabu kemarin (22/2) Ida Susanti menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Singaraja dengan agenda dakwaan. Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim I Made Bagiarta, beserta hakim anggota Made Hermayanti Muliartha dan Pulung Yustisia Dewi.
Dalam berkas dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Isnarti Jayaningsih mengungkapkan peristiwa itu menimpa seorang wanita berinisial Ni Komang LI.
Peristiwa bermula saat korban mengikuti pelatihan sebagai terapis spa di salah satu yayasan yang ada di Kecamatan Seririt. Pelatihan itu diikuti pada April 2021 lalu. Korban tertarik mengikuti pelatihan di sana, karena beberapa kenalannya telah bekerja di Rusia maupun Sri Lanka.
Setelah mengikuti pelatihan selama tiga bulan, korban tertarik mengikuti program bekerja di luar negeri. Saat itu negara yang dituju adalah Rusia. Agen perjalanan mematok tarif sebanyak Rp 25 juta untuk berangkat. Namun, di tengah perjalanan, rencana itu dibatalkan, karena banyak peserta pelatihan yang tak sanggup bekerja di Rusia.
Singkat cerita, korban mendapat informasi adanya lowongan pekerjaan sebagai terapis spa di Sri Lanka. Ia kemudian menghubungi seorang pria, yang diduga warga negara Sri Lanka, bernama Muhamad Sheik Hanifa.
Pria itu memberi tahu bahwa mereka mematok biaya sebanyak Rp 21 juta untuk berangkat ke Sri Lanka sebagai terapis. Nantinya korban akan mendapat gaji sebanyak 500 dolar Amerika, atau sekitar Rp 7,5 juta sebulan di luar bonus. Namun pria itu tak pernah memberi tahu bahwa korban akan dijadikan sebagai pekerja seks. “Saksi korban tidak pernah mendapat penjelasan bahwa akan bekerja di tempat spa terapis yang sekaligus dapat memberikan layanan hubungan badan layaknya suami istri,” urai JPU Isnarti.
Tertarik dengan iming-iming tersebut, korban akhirnya menyetor uang sebanyak Rp 21,5 juta dalam empat kali termin pembayaran. Akhirnya pada 2 Oktober 2021, korban berangkat ke Sri Lanka. Sampai di negeri orang, korban dibawa ke rumah berlantai dua dengan penjagaan ketat. Rupanya di sana korban diminta melayani spa plus-plus. Apabila menolak, maka korban tak mendapat gaji apalagi bonus. Terang saja korban menolak.
Selama setahun korban disekap di rumah tersebut. Hingga akhirnya pada akhir Oktober 2022, korban berhasil kabur bersama seorang pekerja migran lain asal Indonesia. Mereka meminta pertolongan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Sri Lanka. Korban akhirnya berhasil dipulangkan ke Indonesia pada 3 November 2022 silam.
JPU Isnarti mengungkapkan terdakwa Ida Susanti alias Yuni berperan memberikan pelatihan sebagai terapis terhadap korban, meminta korban melakukan pemeriksaan kesehatan, membuat paspor, serta membujuk korban agar bersedia bekerja di Srilanka. Bahkan terdakwa sempat mentransfer uang senilai Rp 6,5 juta untuk biaya perlinatasan korban di Bandara Soekarno-Hatta. “Terdakwa juga menerima tiket pesawat untuk penerbangan rute Jakarta-Singapura-Colombo, dan visa untuk saksi korban dari Muhamad Sheik Hanifa,” ujarnya.
Atas perbuatannya JPU menjerat terdakwa dengan dakwaan primair pasal 4 juncto pasal 48 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Serta dakwaan subsidair pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Akibat perbuatannya terdakwa terancam dijatuhi sanksi pidana berupa pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 15 tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp 120 juta dan paling banyak Rp 600 juta. (eps)