SINGARAJA– Langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng melakukan proses penyelidikan terhadap Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Adat Anturan, akhirnya menunjukkan titik terang.
Penyidik pada Seksi Pidana Khusus Kejari Buleleng menetapkan seorang tersangka dalam perkara tersebut.
Penyidik menetapkan Ketua LPD Adat Anturan, Nyoman Arta Wirawan sebagai tersangka dugaan tindaka pidana korupsi.
Dia ditetapkan sebagai tersangka sejak Senin (22/11) melalui surat penetapan tersangka nomor B-713/N.1.11/Fd.2/11/2021.
Tak tanggung-tanggung, dalam perkara tersebut, tersangka Arta Wirawan diduga bertanggungjawab terhadap kerugian negara senilai Rp 137 miliar. Tak menutup kemungkinan jumlah itu akan berubah, sesuai dengan hasil perhitungan Inspektorat Buleleng.
“Berdasarkan hasil perhitungan dari penyidik, terdapat selisih pendapatan sekitar Rp 137 miliar. Sampai saat ini penyidik masih menunggu perhitungan lebih rinci dari Inspektorat Buleleng,” kata Humas Kejari Buleleng A.A. Jayalantara yang didampingi Kasi Pidsus Kejari Buleleng Wayan Genip saat memberikan keterangan pers di Aula Kejari Buleleng pada Selasa (23/11).
Dari penyelidikan Kejari Buleleng, LPD Anturan diduga menyalurkan kredit sebanyak Rp 244,55 miliar ke masyarakat. Dari dana kredit tersebut, ada tunggakan pembayaran bunga senilai Rp 12,29 miliar. Selain itu penyidik juga menemukan kredit yang diduga fiktif senilai Rp 150,43 miliar.
Selain menyalurkan kredit, LPD Anturan ternyata memiliki unit usaha jual beli tanah kavling. Nilai aset dalam unit usaha ini tercatat sebanyak Rp 28,3 miliar. Tanah itu tersebar di 34 lokasi yang berbeda.
Dalam menjalankan unit usaha itu, manajemen LPD tidak mempekerjakan tenaga pemasaran. Melainkan menggunakan jasa makelar.
Setiap transaksi yang berhasil, makelar mendapat keuntungan 5 persen dari nilai penjualan. Dana hasil penjualan tanah kavling itu lantas disimpan dalam rekening simpanan LPD dan tetap mendapatkan bunga.
Penyidik menduga ada keuntungan jual beli tanah senilai Rp 775 juta yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Konon dana itu digunakan untuk kegiatan tirta yatra karyawan LPD, pengurus, serta prajuru adat, dan keluarga. Tirta yatra itu dilakukan di Kalimantan, Lombok, Gunung Salak, dan Bali.
“Hasil penjualan tanah kavling tersebut ada yang dipergunakan untuk melakukan Tirta Yatra, yang diikuti oleh semua karyawan dan Prajuru Desa Adat beserta keluarga serta Ketua LPD yang menyimpan dana di LPD Anturan. Namun penggunaan dana tersebut tidak dilaporkan,” jelas Jayalantara.
Hasil penyelidikan yang dilakukan Kejari Buleleng juga mengungkap fakta mencengangkan. Ternyata ada selisih pembukuan antara modal LPD, dan simpanan masyarakat, serta aset yang tercatat. LPD Anturan hanya memiliki modal sebanyak Rp 29,26 miliar dan mengelola dana simpanan masyarakat senilai Rp 253,98 miliar. Sementara aset yang tercatat dalam pembukuan hanya Rp 146,17 miliar.
“LPD ini mengelola modal dan dana simpanan masyarakat itu sampai Rp 283,24 miliar. Tapi aset yang tercatat hanya Rp 146,17 miliar. Patut diduga ada selisih pembukuan yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 137,06 miliar,” katanya lagi.
Lebih lanjut Jayalantara mengatakan, penyidik terus mendalami kasus tersebut. Untuk memastikan apakah tersangka Nyoman Arta hanya melakukan tindakan tersebut seorang diri, atau melibatkan orang lain. bahkan tak menutup kemungkinan, penyidik akan memperluas proses penyidikan ke arah pencucian uang.
“Ada kemungkinan seperti itu (pencucian uang, Red). Kami masih dalami. Saat ini rekening yang bersangkutan sudah kami bekukan. Kami juga menelusuri kekayaan tersangka yang dikuasai pihak ketiga atau orang lain. penyidik masih menelusuri,” tegasnya.
Kini penyidik telah menyita puluhan berkas laporan keuangan yang tersimpan dalam tiga boks kontainer, dan 12 lembar Sertifikat Hak Milik. Selain itu penyidik juga menyita mobil dengan nomor polisi DK 1375 UZ yang dikuasai tersangka Nyoman Arta.
Terhadap perbuatannya, tersangka dijerat pasal 2, pasal 3, pasal 8, pasal 9, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua LPD Tamblang Juga Tersangka
Selain LPD Anturan, penyidik Kejari Buleleng juga menetapkan tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi di LPD Adat Tamblang. Penyidik menetapkan seorang oknum pengurus LPD Tamblang berinisial KR sebagai tersangka. Penetapan tersangka itu dilakukan pada Senin (22/11) melalui Surat Penetapan Tersangka Nomor B-714/N.1.11/Fd.2/11/2021.
Humas Kejari Buleleng A.A. Jayalantara mengatakan, tersangka KR diduga menilep uang kas LPD untuk kepentingan pribadi. Aksi itu dilakukan seorang diri, tanpa sepengetahuan pengurus dan karyawan LPD setempat. Diduga uang itu digunakan untuk berfoya-foya oleh oknum tersebut.
“Modusnya uang kas LPD langsung digunakan oleh tersangka. Tersangka kemudian melakukan manipulasi pembukuan untuk menutupi perbuatannya,” kata Jayalantara.
Tak tanggung-tanggung, kerugian negara dalam perkara LPD Adat Tamblang diperkirakan mencapai Rp 1,2 miliar. Untuk memastikan hal tersebut, penyidik mengaku masih menanti hasil audit investigasi dari Inspektorat Buleleng.
“Penyidik akan melakukan pemeriksaan khusus guna pengembangan penyidikan dan pengumpulan bukti, guna memperkuat sangkaan terhadap tersangka,” jelas Jayalantara.
Terhadap perbuatannya, tersangka dijerat pasal 2, pasal 3, pasal 8, pasal 9, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Penyidik telah menyita sejumlah barang bukti dalam perkara tersebut. Yakni dokumen kredit LPD, dokumen pendirian LPD, dan laporan keuangan tahunan.
Hingga saat ini, penyidik belum menahan para tersangka. Penyidik menyatakan masih menanti hasil audit investigasi dari Inspektorat, guna memperkuat sangkaan. Selain itu penyidik juga akan melakukan proses pemeriksaan khusus terkait hal tersebut, sebelum melakukan penahanan.