25.4 C
Denpasar
Friday, March 24, 2023

Model Pengelolaan Tanah Adat dan Implikasi Yuridisnya

Tanah adat secara teknis ilmiah juga dikenal dengan tanah ulayat yang penguasaannya dilakukan oleh persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum adat (adatrechtsgemeenschappen). Masyarakat hukum adat sebagai badan persekutuan hukum di Bali dikenal dengan Desa Adat.

Hak penguasaan atas tanah-tanah adat diatur dalam awig-awig yang dikenal dengan “druwe desa” yang beraspek publik sekaligus privat. Penguasaan yang beraspek publik mengandung arti, bahwa desa adat mempunyai kewenangan untuk mengurus dan memimpin peruntukannya. Beraspek privat mengandung makna bahwa desa adat mempunyai kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkannya yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakatnya (krama desa) dengan tetap dikoeksistensikan dengan hukum negara sesuai prinsip negara kesatuan.

Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA) telah ditegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati hak ulayat dan masyarakat hukum adat dan hak yang serupa sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan sesuai dengan kepentingan negara dan kepentingan nasional berdasar persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

 

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk direferensi adalah penjelasan umum angka II yang pada intinya menegaskan, bahwa: tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Jadi hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.

Dalam lingkup masyarakat hukum adat di Bali, hubungan antara krama desa dengan desa adat sebagai badan persekutuan hukum bersifat mulur mungkret. Dengan terbitnya UUPA yang pembentukannya menggunakan hukum adat sebagai bahan utama dan bahan pelengkap seperti konsep komunal religius dan mengangkat konsep hak ulayat secara nasional yang kemudian melahirkan “hak bangsa” dan “hak menguasai negara”, maka hubungan mulur mungkret dapat diperhatikan dari hubungan daerah Swatantra, masyarakat hukum adat, warga Indonesia secara individual atau kelompok dan badan hukum dengan Negara seperti dinormakan melalui ketentuan Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 UUPA.

Baca Juga:  Esai Hari Raya Galungan: Saatnya Bersyukur dan Menang Melawan Hawa Nafsu!

Melalui hak menguasai negara, maka Negara dapat menyerahkan sebagian kekuasaan kepada daerah swatantra, masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

 

Konsep hak ulayat (beschikkingsrecht) dapat dimaknai dalam konteks desa adat, dan dalam konteks negara untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu “kesejahteraan”, sehingga hak penguasaan dan pemilikan atas tanah (adat) yang disebut druwe desa dalam pengelolaannya berupa penggunaan dan pemanfaatannya untuk diri sendiri cukup mereferensi hukum adat (awig-awig desa adat). Sedangkan ketika tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan untuk diri sendiri tapi juga untuk kepentingan orang lain seperti untuk kepentingan bisnis perlu “dikoeksistensikan” dalam arti didampingi atau mengikuti hukum negara baik yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah (Perda dan aturan organiknya) maupun yang diterbitkan Pemerintah (UU dan aturan organiknya). Tujuannya agar tanah (adat) sebagai sumber daya agraria dapat dikendalikan penggunaan dan pemanfaatannya, tidak hanya untuk generasi sekarang, juga untuk generasi yang akan datang sesuai falsafah Tri Hita Karana dan program pembangunan semesta berencana yang berkelanjutan. Selain itu penggunaan dan pemanfaatan merujuk pada pola ruang dan pemanfaatan ruang yang diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. Terhadap pelanggarannya dapat menimbulkan risiko hukum baik di bidang administrasi, perdata atau pidana sebagai implikasi yuridis.

Baca Juga:  Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia Menurut Ranggawarsita

 

Falsafah Tri Hita Karana yang dituangkan dalam awig-awig desa adat pada dasarnya sudah berkoeksistensi dengan Perda RTRW dan RDTR Kabupaten/Kota dalam konteks legal substance, sehingga diperlukan koherensi dan korespondensi oleh legal structure baik yang ada di Pemerintahan Desa Adat maupun Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan dan pengawasannya. Juga perlu dukungan dari aspek legal culture baik dari krama desa maupun penduduk secara keseluruhan dalam perilaku hukum senyatanya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah (adat).

Dengan koeksistensi hukum adat (awig-awig) dan hukum negara dan iktikat baik serta “kesetaraan relasi” dalam pengelolaan tanah (adat), maka diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi krama desa bukan malah menimbulkan kegaduhan. Demikian pula pilihan model penyelesaian sengketa yang tidak tepat dapat menimbulkan tindakan yang tidak produktif dengan berbagai implikasi yuridisnya. Kondisi ini sudah barang tentu tidak diinginkan oleh semua pihak. Oleh karena itu diperlukan reorientasi untuk berbenah kembali melalui pengendalian memediasi diri sendiri agar bisa melahirkan kedamaian untuk kemaslahatan banyak orang yang oleh Bentham disebut dengan “the greatest happiness for the greatest number of people. 

___

*) Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.



Tanah adat secara teknis ilmiah juga dikenal dengan tanah ulayat yang penguasaannya dilakukan oleh persekutuan hukum adat atau masyarakat hukum adat (adatrechtsgemeenschappen). Masyarakat hukum adat sebagai badan persekutuan hukum di Bali dikenal dengan Desa Adat.

Hak penguasaan atas tanah-tanah adat diatur dalam awig-awig yang dikenal dengan “druwe desa” yang beraspek publik sekaligus privat. Penguasaan yang beraspek publik mengandung arti, bahwa desa adat mempunyai kewenangan untuk mengurus dan memimpin peruntukannya. Beraspek privat mengandung makna bahwa desa adat mempunyai kewenangan untuk menggunakan dan memanfaatkannya yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakatnya (krama desa) dengan tetap dikoeksistensikan dengan hukum negara sesuai prinsip negara kesatuan.

Dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (yang lebih dikenal dengan UUPA) telah ditegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati hak ulayat dan masyarakat hukum adat dan hak yang serupa sepanjang menurut kenyataannya masih ada, dan sesuai dengan kepentingan negara dan kepentingan nasional berdasar persatuan bangsa serta tidak bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

 

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan untuk direferensi adalah penjelasan umum angka II yang pada intinya menegaskan, bahwa: tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja. Jadi hubungan bangsa Indonesia dengan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan yang mengenai seluruh wilayah Negara.

Dalam lingkup masyarakat hukum adat di Bali, hubungan antara krama desa dengan desa adat sebagai badan persekutuan hukum bersifat mulur mungkret. Dengan terbitnya UUPA yang pembentukannya menggunakan hukum adat sebagai bahan utama dan bahan pelengkap seperti konsep komunal religius dan mengangkat konsep hak ulayat secara nasional yang kemudian melahirkan “hak bangsa” dan “hak menguasai negara”, maka hubungan mulur mungkret dapat diperhatikan dari hubungan daerah Swatantra, masyarakat hukum adat, warga Indonesia secara individual atau kelompok dan badan hukum dengan Negara seperti dinormakan melalui ketentuan Pasal 2 ayat (4) jo Pasal 4 UUPA.

Baca Juga:  Pariwisata Terpuruk, saatnya Bali Kembali Bertani

Melalui hak menguasai negara, maka Negara dapat menyerahkan sebagian kekuasaan kepada daerah swatantra, masyarakat hukum adat sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional menurut ketentuan-ketentuan peraturan pemerintah. Atas dasar hak menguasai dari Negara ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.

 

Konsep hak ulayat (beschikkingsrecht) dapat dimaknai dalam konteks desa adat, dan dalam konteks negara untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu “kesejahteraan”, sehingga hak penguasaan dan pemilikan atas tanah (adat) yang disebut druwe desa dalam pengelolaannya berupa penggunaan dan pemanfaatannya untuk diri sendiri cukup mereferensi hukum adat (awig-awig desa adat). Sedangkan ketika tidak hanya digunakan dan dimanfaatkan untuk diri sendiri tapi juga untuk kepentingan orang lain seperti untuk kepentingan bisnis perlu “dikoeksistensikan” dalam arti didampingi atau mengikuti hukum negara baik yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah (Perda dan aturan organiknya) maupun yang diterbitkan Pemerintah (UU dan aturan organiknya). Tujuannya agar tanah (adat) sebagai sumber daya agraria dapat dikendalikan penggunaan dan pemanfaatannya, tidak hanya untuk generasi sekarang, juga untuk generasi yang akan datang sesuai falsafah Tri Hita Karana dan program pembangunan semesta berencana yang berkelanjutan. Selain itu penggunaan dan pemanfaatan merujuk pada pola ruang dan pemanfaatan ruang yang diatur dalam Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. Terhadap pelanggarannya dapat menimbulkan risiko hukum baik di bidang administrasi, perdata atau pidana sebagai implikasi yuridis.

Baca Juga:  Perlu Relaksasi, Urusan Adat Masih Ketat

 

Falsafah Tri Hita Karana yang dituangkan dalam awig-awig desa adat pada dasarnya sudah berkoeksistensi dengan Perda RTRW dan RDTR Kabupaten/Kota dalam konteks legal substance, sehingga diperlukan koherensi dan korespondensi oleh legal structure baik yang ada di Pemerintahan Desa Adat maupun Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan dan pengawasannya. Juga perlu dukungan dari aspek legal culture baik dari krama desa maupun penduduk secara keseluruhan dalam perilaku hukum senyatanya dalam penggunaan dan pemanfaatan tanah (adat).

Dengan koeksistensi hukum adat (awig-awig) dan hukum negara dan iktikat baik serta “kesetaraan relasi” dalam pengelolaan tanah (adat), maka diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi krama desa bukan malah menimbulkan kegaduhan. Demikian pula pilihan model penyelesaian sengketa yang tidak tepat dapat menimbulkan tindakan yang tidak produktif dengan berbagai implikasi yuridisnya. Kondisi ini sudah barang tentu tidak diinginkan oleh semua pihak. Oleh karena itu diperlukan reorientasi untuk berbenah kembali melalui pengendalian memediasi diri sendiri agar bisa melahirkan kedamaian untuk kemaslahatan banyak orang yang oleh Bentham disebut dengan “the greatest happiness for the greatest number of people. 

___

*) Prof. Dr. I Made Suwitra, SH.,MH merupakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Warmadewa Denpasar.


Artikel Terkait

Most Read


Artikel Terbaru