Pariwisata ke depan lebih diharapkan memberikan kesan dan pengalaman dengan mengajak wisatawan berinteraksi dengan alam. Juga perlu dicarikan solusi jitu bagaimana agar wisatawan tidak hanya akrab dengan Kawasan Bali Selatan, sekaligus mencegah hilangnya keasrian dan suasana alami.
EKSPLORASI boleh, eksploitasi berlebihan jangan. Bali banyak memiliki daerah yang dapat dikunjungi untuk wisata alam. Baik di Bali Selatan, Bali Utara, Bali Timur maupun Bali Barat.
Nah, dalam pengembangan wisata alam ini diharapkan jangan sampai mengeksploitasi alam yang berakibat merusak lingkungan.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Made Sarjana menyampaikan tidak ada yang salah dengan pengembangan wisata alam, namun bagaimana pengelolaan alam tetap mempertahankan pengelolaan daya tarik wisata (DTW) alam yang ramah lingkungan, meminimalkan pembangunan fisik yang menyebabkan alih fungsi lahan secara besar-besaran.
Pria yang meraih gelar doktor di Fakultas Pariwisata Universitas Udayana ini mencontohkan wilayah Kintamani yang saat ini banyak dikunjungi, merupakan contoh eksploitasi besar-besaran. Berjamurnya keda kopi (coffee shop) yang menjual pemandangan Gunung Batur, sehingga yang menikmati hanya wisatawan yang mampir ke kedai kopi.
“ Sebelumnya siapa pun melintas bisa menikmati. Untungnya dibangun pedestrian sekarang, tapi suasananya cenderung metropolis sekarang. Suasana pedesaannya (alam) mulai bergeser,” terangnya.
Padahal kekuatan Kintamani yang berada di Kabupaten Bangli adalah wisata alam. Untuk antisipasi eksploitasi alam, pemerintah harus tegas mengatur dalam RDTR ( Rencana Detail Tata Ruang ).
Pentingnya kebijakan pemerintah yang tegas untuk keselamatan alam. Pemilik modal juga mesti peduli bukan semata-mata mencari tempat strategis tapi memperhatikan estetika dan keaslian lanskap supaya kawasan tersebut tetap tetap memiliki ciri khas sebagai destinasi atau daya tarik wisata.
“Setiap lokasi di Bali punya potensi, kan tergantung brand dan pengelolaan dengan menonjolkan karakteristik lingkungan alam yang unik. Bisnis pariwisata kan terkait pencitraan. Jika citranya sebagai wisata alam, namun aktivitasnya wisata buatan kan ini yang masalah, tidak ada trust dari wisatawan,” sentilnya
Yang ditekankan dalam pengembangan wisata alam adalah pemilik modal dan pemegang kebijakan atau perencana pariwisata mampu membedakan mana kecenderungan sesaat dan yang mana aktivitas wisata alam yang berkelanjutan.
Sarjana mengungkapkan kadang ada pemilik modal hanya ikut-ikutan membangun daya tarik wisata dengan membangun tempat swafoto, ini bermasalah dengan pengembangan loyalitas wisatawan.
Ada segmen wisatawan yang hanya mencari tempat unik buat fotoan diunggah di media sosial, jadi mereka akan hadir sekali ke DTW dan tidak ada keinginan kembali lagi. “Istilah wisatawan revisit (mengunjungi kembali) tidak muncul, secara konseptual, wisatawan harus dikembangkan paket wisata yang memberikan pengalaman berwisata menyatu dengan alam atau berinteraksi dengan masyarakat,” paparnya.
Disinggung apakah ada contoh daerah wisata alam yang tidak merusak alam? Sarjana menerangkan aktivitas pariwisata akan membawa perubahan fisik, tapi tidak masif, jadi kerusakan alam yang ditimbulkan dapat dikendalikan.
Sepanjang pengalamannya mungkin yang dapat menjadi contoh daerah Pemuteran, Buleleng dengan restorasi karang bawah laut bisa jadi model, dan juga di Subak Jatiluwih , Kabupaten Tabanan. “ Artinya perubahannya tidak drastis,” cetusnya.
Di sisi lain lagi, pengembangan wisata alam juga harus memperhatikan keamanan. Sebab, wisatawan berapa kali mengalami kecelakaan, bahkan ada yang sampai merenggang nyawa karena berwisata.
Oleh karena itu, menurut Sarjana, pentingnya penerapan standar operasional prosedur (SOP) dan juga menyiapkan tenaga keamanan di setiap objek wisata. ” SOP untuk dipahami bersama oleh wisatawan dan pengelola tentang situasi-situasi yang dapat membahayakan pengunjung jika mereka tidak waspada, tenaga keamanan untuk menjamin rasa aman pengunjung,” jelas Pria yang juga sebagai Peneliti di Pusat Unggulan Pariwisata (PUPAR) Universitas Udayana
Sarjana menambahkan, seluruh stakeholder pariwisata harus saling mengingatkan supaya wisatawan yang menikmati daya tarik wisata dan pengelola terkait keamanan dalam penyelenggaraan paket wisata.
Sementara itu, berkaitan dengan Wisatawan Tiongkok akan banyak datang ke Bali ini adalah momen memperkenalkan daya tarik wisata alam. Untuk mewujudkan pariwisata berkualitas yang harus diperhatikan adalah penyediaan aktivitas pariwisata yang memperkenalkan budaya lokal Bali menjadi kunci bagi wisatawan Tiongkok untuk mendapatkan pengalaman di Bali
“Sebelumnya kan sempat muncul dugaan orang Tiongkok datang ke Bali tapi mereka dalam tur perjalanannya hanya ke tempat-tempat yang “menjual” hal-hal yang didatangkan dari negerinya,” katanya.
Selama ini wisatawan Tiongkok lebih banyak diajak berwisata di tempat-tempat yang sudah terkenal kawasan pantai di Bali Selatan. Mereka jarang diperkenalkan aktivitas wisata alam dan budaya di belahan Bali lainnya.
“ Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali mendatangkan wisatawan Tiongkok dan meminta adanya penerbangan langsung saat ini menjadi langkah tepat memperkenalkan DTW alam dan budaya di seluruh Bali secara merata,” pungkas Pengajar Mata Kuliah Pengembangan Agriwisata di Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Seperti diketahui wisata alam diharapkan menjadi ikon pariwisata di Bali, Pariwisata kedepannya diharapkan tidak hanya terpaku pada MICE ( Meeting, Incentive, Covention, Exhibition) tourism. Itu disampaikan oleh tua Association of The Indonesian Tours and Travels Agencies (Asita) Bali I Putu Winastra mengatakan, bahwa ke depan diharapkan lebih mengacu kepada memberikan pengalaman dengan wisata ke alam.
Menurutnya, selain mendukung pariwisata Bali bekelanjutan ini juga dapat mewujudkan pariwisata berkualitas. [ni kadek novi febriani/radar bali]