SINGARAJA– Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Buleleng mengancam menunda penetepan Rancangan Peratuaran Daerah (ranperda) Perlindungan Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (PLP2B) menjadi perda.
Penyebabnya pihak eksekutif dan legislatif masih tarik ulur soal insentif yang diberikan pada petani. Utamanya mereka yang lahannya masuk dalam peta LP2B.
Seperti terungkap saat pembahasan Ranperda PLP2B, Senin (31/5).
Pembahasan melibatkan seluruh anggota DPRD Buleleng dengan pihak eksekutif. Rapat pembahasan itu dipimpin Wakil Ketua DPRD Buleleng Ketut Susila Umbara.
Dalam pembahasan tersebut, eksekutif sepakat menaikkan insentif pengurangan pajak. Tadinya usulan yang disampaikan eksekutif hanya 75 persen.
Eksekutif kemudian sepakat menaikkan insentif pengurangan pajak menjadi 90 persen.
Dewan rupanya belum sepakat dengan hal tersebut.
Dewan meminta agar pemerintah juga memberikan kebijakan penurunan NJOP bagi lahan pertanian yang masuk peta LP2B.
Ditambah lagi perlindungan gagal panen bagi petani. Hal itu diyakini akan memberikan kesejahteraan bagi petani.
Ketua Komisi II DPRD Buleleng Putu Mangku Budiasa mengatakan, pemerintah harus berani mengambil kebijakan menurunkan NJOP.
Sebab setelah suatu lahan masuk dalam peta LP2B, praktis harga jual akan turun drastis.
“Siapa sih orang yang mau lahan yang tidak bisa alih fungsi. Pemerintah harus berani mengambil kebijakan ini. Kami tidak masalah kok ranperda ini tidak disahkan pada masa sidang saat ini. Kami minta ada kepastian insentif yang diberikan pada petani, sebelum perda ini disahkan,” tegasnya.
Sementara itu, Sekretaris Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Buleleng Ni Made Susi Adnyani mengungkapkan, sejauh ini pihaknya baru menyepakati insentif berupa pengurangan pajak hingga 90 persen dari Surat Perintah Pajak Terutang (SPPT).
Nantinya para petani akan langsung mendapat diskon pajak 90 persen pada kitir pajak mereka, tanpa harus mengajukan pengurangan.
Sementara untuk penurunan NJOP, pihaknya belum mau bicara banyak. Sebab penurunan NJOP harus melibatkan tim apraisal independen.
Penentuan NJOP pun harus dilakukan berdasarkan survey harga pasar, zonasi kawasan, serta potensi penghasilan dari tanah tersebut.
“Untuk penurunan NJOP, kami rasa butuh waktu. Kami harus hati-hati, karena ini akan berpengaruh terhadap hal lain. Seperti BPHTB.
Jika memang harus dilakukan penyesuaian NJOP, kami harus menyerahkan kajian itu pada tim independen yang memang punya kualifikasi untuk itu,” kata Susi.
Dewan pun memutuskan menunda rapat pembahasan tersebut.
Dewan meminta agar pihak eksekutif mengkaji kembali peluang penurunan NJOP, sebelum ranperda PLP2B disahkan.