GIANYAR, radarbali.id- Visi “Menjadi #1 Digital InfraCo di pasar APAC (Asia-Pacific) yang sedang berkembang dengan menawarkan layanan terbaik di kelasnya yang berkelanjutan, berhasil diwujudkan PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. atau Mitratel yang merupakan anak perusahaan PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. yang bergerak di bidang penyediaan infrastruktur telekomunikasi.
Berdiri sejak 2008, Mitratel kini mengelola lebih dari 35.000 menara telekomunikasi di Indonesia. Hal ini tidak terlepas dari sederet catatan sejarah cemerlang yang diukir Direktur Utama Mitratel, Theodorus Ardi Hartono dan jajaran.
Tercatat, lebih dari satu dekade berdiri, Mitratel mencatat sejarah gemilang. Pertama, berdiri pada 2008, Mitratel menjadi garda utama dalam bisnis Telkom di bidang menara telekomunikasi.
Kedua, pada 2010, Mitratel menetapkan logo baru dan memperluas operasi di 10 regional baru.
Ketiga, pada 2012, Mitratel menempati top 3 penyedia menara telekomunikasi di Indonesia.
Keempat, pada 2014, Mitratel memfokuskan core busines menjadi tower related busines.
Kelima, pada 2016, Mitratel menjadi penyedia tower microcell nomor 1 di Indonesia dengan 1.000 Smartpoles.
Keenam, pada 2018, Mitratel melakukan rebranding dan berhasil menempati posisi kedua terbesar sebagai penyedia menara telekomunikasi di Indonesia.
Ketujuh, pada 2019, Mitratel melakukan akuisisi PT Persada Sokka Tama dan ISAT Tower.
Kedelapan, pada 2020, Mitratel melakukan akuisisi dalam Project Reunion 6.050 menara Telkomsel.
Kesembilan, pada 2021, Mitratel resmi mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia (BEI) atau IPO dengan kode saham “MTEL” dan menjadi penyedia menara telekomunikasi terbesar dan terluas di Indonesia.
Atas capaian-capaian prestisius tersebut, Mitratel (kode ticker MTEL, red) terus menjaga pertumbuhan kinerja bisnis yang kuat dan berkelanjutan.
Hal ini seiring keberhasilan manajemen meletakkan fundamental keuangan yang sehat dan kuat berupa pertumbuhan triple double digit, arus kas yang kuat dan sehat, eksposur utang yang rendah, serta serangkaian akuisisi menara dan fiber optik yang telah dilakukan sepanjang tahun 2022, telah berhasil membuka ruang pertumbuhan yang semakin besar ke depannya.
“Mitratel berhasil melewati tahun 2022 dengan fundamental keuangan yang tetap kuat, terlihat dari pertumbuhan triple double-digit, di mana pendapatan tumbuh 12,5 persen, EBITDA 18,5 persen, dan laba bersih tumbuh sebesar 29,3 persen serta mencatatkan laba bersih Rp 1,79 triliun.
Dengan adanya kepemilikan aset menara terbesar di Asia Tenggara, kami optimistis dapat terus menjaga pertumbuhan kinerja yang kuat di tengah tantangan perekonomian global yang dinamis,” jelas Direktur Utama Mitratel Theodorus Ardi Hartoko dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan media, di Bali, Kamis (16/3).
Lebih lanjut Teddy menambahkan, Mitratel juga memiliki eksposur utang yang rendah, terlihat dari rasio debt to equity yang hanya 0,45 kali.
Hal ini membuat perseroan terhindar dari beban bunga dan risiko pinjaman yang tinggi di tengah kondisi perekonomian yang sedang mengalami tren kenaikan suku bunga rupiah dan dolar AS.
Apalagi, lanjut Teddy, seluruh utang pada tahun buku 2022 merupakan pinjaman bersih tanpa agunan, dengan rata-rata maturitas (jatuh tempo) 5,5 tahun.
Teddy memaparkan, dampak dari aksi akuisisi, telah berhasil menambah penguasaan aset menara Mitratel menjadi 35.418 unit, yang mana hal ini juga berdampak terhadap peningkatan porsi dari penyewaan menara (tower leasing) dari 79 persen atau Rp 5,4 triliun menjadi 82 persen atau setara Rp 6,37 triliun dengan EBITDA margin 85 persen.
Menurut Teddy, selama tahun lalu, Mitratel telah menempuh strategi pertumbuhan organik dan inorganik.
Pertumbuhan organik dilakukan dengan menambah 6 ribu aset menara (2 ribu di antaranya menghasilkan pendapatan kolokasi) membangun produk baru berupa jaringan fiber to tower sepanjang 10 ribu Km, senilai Rp2,9 triliun.
Sementara itu, pertumbuhan inorganik dilakukan dengan mengakuisisi lebih dari 6 ribu aset menara dan fiber optik (6K km karena telah berhasil diakuisisi) dengan total investasi Rp9,3 triliun.
Adapun pendanaan tersebut bersumber dari penggalangan dana IPO oleh Mitratel di tahun 2021.
Sementara itu, Teddy yang belum lama ini terpilih menjadi Ketua ASPIMTEL (Asosiasi Pengembangan Infrastruktur Menara Telekomunikasi) mengatakan, secara industri, bisnis menara di Indonesia masih memiliki ruang pertumbuhan yang tinggi.
Hal ini didasari beberapa faktor seperti rasio densitas menara terhadap penduduk yang masih sangat rendah dan penetrasi 5G yang akan mencapai 27 persen pada tahun 2025 akan mendorong penguatan kebutuhan jaringan fiber optik.
“Kami juga melihat potensi pertumbuhan yang tinggi akan datang dari para operator selular seiring kebutuhan ekspansi mereka ke luar Pulau Jawa,” jelas Teddy.
Menurut Teddy, selama tahun lalu Mitratel berhasil menerima pesanan jaringan fiber optik sepanjang 25 ribu Km atau setara 30 persen dari total fiber rollout MNO.
Dengan tambahan akuisisi 6 ribu KM jaringan FO, saat ini Mitratel telah memiliki aset jaringan fiber optik sepanjang 16.641 km dan akan terus dibangun dan diperluas.
Strategi 2023
Untuk tahun ini, Teddy memaparkan, fokus utama adalah memonetisasi aset menara untuk menambah tenant yang terus dilakukan guna meningkatkan pertumbuhan bisnis yang tinggi di atas rata-rata industri.
Fokus kedua adalah menjaga dominasi atas pemenuhan rollout MNO dan penyediaan bisnis pendukung lainnya sehingga menjadi pemimpin pasar yang kuat serta fokus terakhir adalah melakukan proses transformasi digital melalui peningkatan infrastruktur digital, perampungan aplikasi inti dan pengembangan sistem keamanan.
Pertumbuhan pendapatan pada tahun ini ditargetkan tumbuh sebesar 11 persen, jauh lebih tinggi dari industri yang diperkirakan tumbuh sekitar 4 persen.
Selain itu Mitratel juga tetap menjalankan strategi pertumbuhan bisnis organik dan inorganik berupa penambahan 4 ribu tenant dan mengakuisisi 1,5 ribu aset menara serta membangun jaringan fiber optik sepanjang 13 ribu Km dengan total belanja modal dianggarkan sekitar Rp7 triliun. (rba/ken)